Agar Tidak Sia-sia, Pakar Hukum Sarankan Jokowi Terbitkan Perppu Setelah UU KPK Berlaku
Presiden Joko Widodo (Jokowi) disarankan menerbitkan Perppu setelah Undang-Undang KPK hasil revisi berlaku.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) disarankan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), setelah Undang-Undang KPK hasil revisi berlaku.
Pakar Hukum Univesitas Indonesia, Junaedi, menjelaskan UU KPK telah disahkan DPR pada 17 September 2019 dan akan berlaku secara otomatis 30 hari kemudian meski Presiden Jokowi tidak menandatanganinya.
"Kalau dikeluarkan Perppu sekarang dan nantinya Undang-Undang KPK berlaku maka ada dua undang-undang dan ini nantinya lex posterior derogat legi priori," kata Junaedi saat diskusi tentang Perppu UU KPK di kawasan Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (2/10/2019).
Baca: Politikus Nasdem Minta Kejadian Megawati Tak Salami Surya Paloh Tidak Dibesar-besarkan
Baca: Astronot Alexander Gerst dan 24 Tokoh Dianugerahi Bintang Jasa
Baca: Pengakuan YL yang Berselingkuh dengan Sopirnya Sebelum Bersekongkol Habisi Nyawa Sang Suami
Maksud lex posterior derogat legi priori yaitu undang-undang terbaru akan mengesampingkan undang-undang yang ada sebelumnya.
Dengan kata lain, Perppu akan menjadi sia-sia karena UU KPK hasil revisi yang nantinya akan berlaku.
"Tapi kalau Presiden mau keluarkan Perppu sekarang, maka harus ditandatangani dulu baru keluarkan Perppu. Tapi feeling saya, Presiden tidak tandatangan, keluarkan Perppu setelah dilantik," papar Junaedi.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menerima banyak masukan dari sejumlah tokoh mengenai Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi.
Banyak masukan meminta Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menggantikan UU KPK yang telah disahkan DPR.
Baca: Niat Puasa Senin Kamis, Puasa Sunnah yang Sangat Dianjurkan oleh Rasulullah, Ini Keutamaannya
"Tadi banyak masukan dari para tokoh pentingnya menerbitkan Perppu," ujar Jokowi dalam jumpa pers bersama para tokoh di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (26/9/2019).
Jokowi akan mengkaji dan mempertimbangkan masukan dari para tokoh tersebut.
"Tentu saja ini akan kita hitung kalkulasi, akan kita pertimbangkan, terutama dari sisi politiknya," jelas Jokowi.
Bisa Dimakzulkan
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menyebut ada kesepakatan dari partai pengusung Jokowi-Maruf Amin terkait pertimbangan presiden mengeluarkan Perppu Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK).
"Untuk sementara tidak ada. Belum terpikirkan mengeluarkan Perppu. Saya kira masalahnya sudah di MK, kenapa kita harus keluarkan Perppu? Ini kan sudah masuk ke ranah hukum, ranah yudisial namanya," kata Surya Paloh di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (2/10/2019)
Kesepakatan antarparpol pendukung Jokowi-Maruf Amin tersebut sudah dibahas dalam pertemuan di Istana Bogor, Senin (30/9/2019) malam.
Baca: Ungkap Mahasiswa Kini Lebih Populer dari Jokowi, Haris Azhar Minta Ali Ngabalin Turunkan Microphone
Baca: Jokowi Diminta Evaluasi Penyaluran Dana Otsus, DAU, dan DAK untuk Atasi Konflik Papua
Baca: ACT: Lebih Dari 10.000 Orang Mengungsi Keluar Dari Wamena
"Ada kesepakatan dari partai-partai pengusung pemerintahan, bahwasanya katakanlah pikiran-pikiran yang cukup kritis, anak-anak mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa, ya kan, lalu meminta agar dilahirkannya Perppu, nah itu dibahas," lanjutnya.
Unjuk rasa mahasiswa yang meminta Presiden menerbitkan Perppu KPK, menurut Surya Paloh, tidak tahu bahwa revisi UU KPK tersebut sudah masuk ke ranah hukum atau judicial review di MK.
"Presiden kita paksa keluarkan Perppu, ini justru dipolitisir. Salah-salah presiden bisa di-impeach (makzul) karena itu. Ini harus ditanya ke ahli hukum tata negara. Ini pasti ada pemikiran-pemikiran baru," katanya.
Baca: Perjalanan Karir Primus Yustisio, Dari Seorang Aktor Handal hingga Menjadi Politisi
Meskipun Perppu KPK tak akan dikeluarkan presiden, Surya Paloh menyebut sejumlah Revisi Undang-Undang yang bermasalah tetap ditunda pengesahannya.
"Sejumlah produk UU yang tertunda tetap akan tertunda," kata dia.
Jokowi harus hati-hati
Presiden Jokowi diminta tidak meniru kegagalan dalam era pemerintahan sebelumnya ketika mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengingatkan jangan sampai Perppu yang dikeluarkan karena desakan massa malah membuat sistem demokrasi terpuruk.
"Saat itu SBY mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 untuk membatalkan UU Pilkada karena mendapat desakan. Perppu ini terkait mekanisme pelaksanaan Pilkada yang sebelumnya telah disahkan DPR melalui UU Pilkada pada 26 September 2014," ujar Margarito Kamis, Minggu (29/9/2019).
Baca: Bocah Berusia 8 Tahun Tenggelam di Bekas Galian Tambang Timah
Baca: Rezky Aditya Akui Ada Pertemuan Keluarga dengan Pihak Citra Kirana
Baca: Menilik Kondisi Pos Polisi Palmerah yang Dirusak Massa, 2 Bangkai Sepeda Motor Dibiarkan Tergeletak
"Telah terbukti dalam tata negara kita bahwa situasi yang dianggap genting itu ketika dijadikan dasar dikeluarkannya Perppu, dalam beberapa kasus tidak cukup valid. Anda tahu dulu UU Pilkada, lalu ada demo ramai. Itu dijadikan dasar oleh Pak SBY mengeluarkan Perppu. Apakah setelah itu keadaan Pilkada kita berubah? Tidak," tambah Margarito Kamis.
Margarito berharap Jokowi selaku kepala negara hati-hati dalam mengenali syarat konstitusi untuk mengeluarkan Perppu.
Jokowi tidak boleh mengambil keputusan karena desakan dan alasan mengeluarkan Perppu harus masuk akal secara konsep.
Margarito menyadari adanya aspirasi dari berbagai kalangan agar Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu.
Tapi tidak bisa dilupakan bahwa UU KPK hasil revisi sudah disahkan DPR dan pemerintah melalui rapat paripurna.
Di sisi lainnya ada juga pihak-pihak yang menginginkan UU KPK hasil revisi diterapkan demi transparansi dan akuntabilitas.
Baca: Janda Muda Berhubungan Badan dengan 8 Pria di Semak, Saat Diperiksa Beri Pengakuan Mengejutkan
"Saya berpendapat ini bisa didialogkan. Anda tahu Hitler menjadi otoriter karena apa? Karena desakan orang, desakan publik. Dia (Jokowi) mesti tahu itu. Dia mesti tahu bahwa jumlah orang yang diam itu ada," jelas Margarito.
Lebih lanjut Margarito menuturkan pemberantasan korupsi saat ini bukan karena lemahnya lembaga penegakan hukum dan aturan tentang pemberantasan korupsi.
Menurutnya, korupsi masih terjadi karena ada mesin produksi korupsi yakni pemilu langsung yang mendorong banyak pihak bergerak koruptif.