Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Soal Revisi UU KPK, Pengamat: Jokowi Ngikuti Maunya Parpol atau Maunya Rakyat?

PDI Perjuangan sebagai partai pengusung Jokowi terang-terangan menyatakan penolakan atas wacana penerbitan Perppu KPK.

Editor: Choirul Arifin
zoom-in Soal Revisi UU KPK, Pengamat: Jokowi Ngikuti Maunya Parpol atau Maunya Rakyat?
Grid.ID/Asri Sulistyowati
Presiden Jokowi di Pura Mangkunegaran Solo, Jawa Tengah, Rabu (2/10/2019). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan, Presiden Joko Widodo saat ini tengah terjebak dalam dilema akut untuk memilih mendengar suara partai atau mengikuti suara rakyat. 

Ini karena PDI Perjuangan sebagai partai pengusung Jokowi terang-terangan menyatakan penolakan atas wacana penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ( Perppu) UU KPK hasil revisi.

Sedangkan publik yang salah satunya diwakili aktivis antikorupsi dan mahasiswa tetap meminta Kepala Negara mencabut UU KPK melalui penerbitan Perppu.

"Jokowi terjebak dalam dilema akut. Pilihan yang sangat rumit antara mengikuti partai pengusung seperti PDI-P atau mengikuti suara publik soal revisi UU KPK," kata Adi kepada Kompas.com, Selasa (8/10/2019).

Tentu sulit bagi Jokowi untuk memilih satu dari dua opsi tersebut. Jika memilih mengikuti PDI-P, dipastikan Jokowi bakal berhadapan dengan arus besar penolakan aktivis dan masyarakat luas.

Sebaliknya, jika Jokowi nekat menerbitkan Perppu, ia akan berhadapan secara konfrontatif dengan PDI-P dan partai politik lain yang telah lama mendukungnya. "Ini ujian bagi Jokowi, milih partai atau rakyat," kata Adi.

Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah itu menambahkan, bisa jadi Presiden Jokowi saat ini masih terus bernegosiasi dengan partai pendukung untuk mencari solusi atas polemik UU KPK beserta Perppu.

Berita Rekomendasi

"Sepertinya Jokowi sedang menegoisasi ulang dengan parpol pendukungnya mencari titik temu yang ideal soal Perppu. Njelimet dan rumit memang," kata dia.

Diberitakan, Fraksi PDI-P di DPR RI memastikan akan menolak jika Presiden Joko Widodo menerbitkan perppu untuk mencabut Undang-Undang KPK hasil revisi.

Hal itu disampaikan oleh anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi PDI-P, Hendrawan Supratikno.

Baca: Gatot Nurmantyo: Kalau TNI-Polri Dibenturkan, Presiden Akan Kehilangan Dua Tangannya

Dia mengatakan, sikap resmi Fraksi PDI-P ialah menolak perppu dan menyarankan agar polemik revisi UU KPK diselesaikan melalui judicial review di Mahkamah Konsitusi atau legislative review.

"Pandangan resmi kami di fraksi, sebaiknya tetap melalui judicial review dan legislative review," kata Hendrawan saat dihubungi, Selasa (8/10/2019).

Masinton: Jangan Tekan Presiden

Sebelumnya, politisi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu meminta semua pihak untuk tak menekan Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terhadap UU KPK hasil revisi.

"Jangan ada siapa pun coba menekan-nekan presiden dalam hal menerbitkan perppu. Itu hak subyektif presiden, hormati," kata Masinton dalam diskusi bertajuk "Habis Demo Terbitkah Perppu? di kawasan Tebet, Jakarta, Selasa (8/10/2019) seperti dikutip Kompas.com.

"Tidak boleh ada satu kekuatan pun yang menekan. Bahaya kalau ketatanegaraan di konstitusi kita, kita letakkan pada tekanan-tekanan," ucap Masinton lagi.

Masinton Pasaribu23
Masinton Pasaribu.

Meski itu hak subyektif presiden, lanjut Masinton, ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi untuk menerbitkan perppu sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138 Tahun 2009.

Beberapa syarat pengeluaran perppu di antaranya adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu diselesaikan.

"Ihwal kegentingan itu dalam putusan MK itu kegentingan yuridis. Meskipun itu kan hak subyektif presiden bukan kegentingan yang digenting-gentingkan, karena ada massa protes keluarkan perppu, konferensi pers keluarkan perppu," kata dia.

"Bukan itu yang dimaksud kegentingan, kegentingan yuridis. Apakah itu terpenuhi? Tidak. Secara obyektif itu belum," ucap Masinton.

ICW: 10 Poin Ini Akan Rugikan Jokowi Sendiri

 Indonesia Corruption Watch (ICW)  mencatat ada 10 poin yang akan merugikan Joko Widodo sendiri jika dia tidak segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait pembatalan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, masa depan pemberantasan korupsi saat ini tengah terancam.

Hal ini dikarenakan pembahasan serta pengesahan UU KPK yang kental dengan nuansa pelemahan KPK.

"Seakan Presiden tidak mendengarkan suara penolakan revisi UU KPK yang sangat masif didengungkan oleh berbagai elemen masyarakat di seluruh Indonesia," kata Kurnia kepada wartawan, Selasa (8/10/2019).

ICW mengutip data Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis Minggu (6/10/2019) kemarin lusa.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana (tengah) berdiskusi dalam acara talkshow POLEMIK di d'consulate resto, Jakarta Pusat, Sabtu (7/9/2019). Talkshow ini memiliki tema KPK Adalah Koentji yang membahas tentang revisi Undang-Undang KPK yang sedang bergulir. TRIBUNNEWS.COM/IQBAL FIRDAUS
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana (tengah) berdiskusi dalam acara talkshow POLEMIK di d'consulate resto, Jakarta Pusat, Sabtu (7/9/2019). Talkshow ini memiliki tema KPK Adalah Koentji yang membahas tentang revisi Undang-Undang KPK yang sedang bergulir. TRIBUNNEWS.COM/IQBAL FIRDAUS (TRIBUN/IQBAL FIRDAUS)

Kata Kurnia, berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 1.010 responden tersebut mengantarkan pada beberapa kesimpulan.

Yakni persepsi masyarakat terhadap revisi UU KPK mayoritas mengatakan akan melemahkan KPK (70,9 persen) dan ihwal penerbitan Perppu sebanyak 76 persen menghendaki Jokowi segera mengeluarkan kebijakan tersebut agar UU KPK dikembalikan seperti sedia kala.

Maka dari itu, ICW memandang bahwa Jokowi mesti cepat mengambil keputusan untuk menerbitkan Perppu.

"Selain itu juga ada beberapa konsekuensi logis jika kebijakan pengeluaran Perppu ini tidak segera diakomodir oleh Presiden," ujar Kurnia.

Berikut 10 poin jika Jokowi tidak segera menerbitkan Perppu KPK menurut ICW:

1. Penindakan kasus korupsi akan melambat

Ini diakibatkan dari pengesahan UU KPK yang baru, yang mana nantinya berbagai tindakan pro justicia akan dihambat karena harus melalui persetujuan dari Dewan Pengawas. Mulai dari penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan.

2. KPK tidak lagi menjadi lembaga negara independen

Berdasarkan Pasal 3 UU KPK yang baru menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Ini mengartikan bahwa status kelembagaan KPK tidak lagi bersifat independen. Padahal sedari awal pembentukan KPK diharapkan menjadi bagian dari rumpun kekuasaan ke empat, yakni lembaga negara independen dan terbebas dari pengaruh kekuasaan manapun, baik secara kelembagaan ataupun penegakan hukum.

3. Menambah daftar panjang pelemahan KPK

Sepanjang lima tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berbagai pelemahan terhadap KPK telah terjadi.

Mulai dari penyerangan terhadap Novel Baswedan, pemilihan pimpinan KPK yang sarat akan persoalan, ditambah lagi dengan pembahasan serta pengesahan UU KPK.

Akan tetapi di waktu yang sama seakan Presiden mengabaikan persoalan tersebut sembari membiarkan pelemahan KPK terus menerus terjadi.

Tentunya ini akan berimplikasi pada pandangan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan selama ini, bukan tidak mungkin anggapan tidak pro terhadap pemberantasan korupsi akan disematkan pada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

4. Presiden dinilai ingkar janji pada nawacita

Masih jelas diingatan publik pada saat masa kampanye tahun 2014 lalu Joko Widodo sempat mengeluarkan 'NawaCita' yang mana berisi sembilan agenda prioritas jika nantinya terpilih menjadi Presiden selama lima tahun ke depan.

Tegas disebutkan pada poin ke 4 bahwa Joko Widodo-Jusuf Kalla menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

Publik dengan mudah menganggap bahwa NawaCita ini hanya ilusi belaka saja jika Presiden tidak segera bertindak untuk menyelamatkan KPK.

5. Indeks persepsi korupsi dikhawatirkan akan menurun drastis

Saat ini indeks persepsi korupsi Indonesia berada pada peringkat 89 dari total 180 negara dengan skor 38. Setelah dua tahun sebelumnya IPK Indonesia stagnan di angka 37.

Salah satu penilaian dalam menentukan IPK adalah sektor penegakan hukum.

Sederhananya, bagaimana mungkin IPK Indonesia akan meningkat jika sektor penegakan hukum, khususnya tindak pidana korupsi, yang selama ini ditangani oleh KPK justru bermasalah dikarenakan UU nya telah dilakukan perubahan.

6. Iklim investasi akan terhambat

Seperti yang diketahui bahwa saat ini pemerintah sangat gencar menawarkan investasi luar negeri agar bisa membantu pembangunan berbagai proyek strategis di Indonesia.

Tentu hal utama yang menjadi landasan untuk menciptakan iklim investasi yang sehat adalah kepastian hukum.

Jika KPK dilemahkan secara sistematis seperti ini, bagaimana mungkin Indonesia bisa memastikan para investor akan tertarik menanamkan modalnya disaat maraknya praktik korupsi.

7. Dinilai mengabaikan amanat reformasi

Salah satu amanat reformasi pada tahun 1998 lalu adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Hal ini termaktub dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, yang mana dalam Pasal 3 ayat (3) aturan a quo tegas menyebutkan bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan konsisten undang-undang tindak pidana korupsi.

Menjadi mustahil mewujudkan hal tersebut jika kondisi saat ini menggambarkan adanya grand design dari DPR dan pemerintah untuk memperlemah lembaga anti korupsi Indonesia melalui revisi UU KPK.

8. Hilangnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah

Pada Pemilihan Umum tahun 2014 lalu pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mengantongi 70 juta suara yang akhirnya mengantarkan kedua orang ini menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Tak berhenti disitu, pada tahun 2019, Joko Widodo kembali meraup suara 85 juta suara, kali ini ia memastikan untuk menjadi Presiden dua periode sampai pada tahun 2024.

Tentu para konstituennya tidak berharap adanya kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi.

Menjadi hal yang wajar jika para pemilih Jokowi mendasarkan pilihannya atas janji politik yang telah disampaikan dan berharap akan realisasi yang jelas.

Namun, kondisi saat ini justru terbalik, narasi penguatan yang selama ini didengungkan oleh Presiden seakan luput dari kebijakan pemerintah.

9. Citra Indonesia akan buruk di dunia internasional

United Convention Against Corruption (UNCAC) telah mengeluarkan sikap terkait dengan pelemahan KPK.

Lembaga ini menilai bahwa revisi UU KPK akan mengancam prinsip independensi KPK dan bertolak belakang dengan mandat dalam Pasal 6 jo Pasal 36 UNCAC yang menyebutkan bahwa mengharuskan setiap negara untuk memastikan keberadaan badan anti korupsi yang khusus dalam mencegah dan memberantas korupsi melalui penegakan hukum yang harus diberikan independensi yang diperlukan serta mampu menjalankan fungsinya secara efektif dan tanpa pengaruh dari hal-hal yang tidak semestinya.

Pernyataan itu dilansir pada tanggal 27 September lalu, setidaknya lebih dari 90 organisasi dunia menyoroti persoalan pelemahan KPK ini.

Tentu ini akan berdampak buruk bagi citra pemerintah yang selama ini selalu menggaungkan tata kelola pemerintah yang bersih dari korupsi.

Selain itu KPK dikenal memiliki reputasi baik di tingkat internasional. Misalkan saja, pada tahun 2013 lalu KPK mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay Award oleh pemerintah Filipina.

Lembaga anti rasuah ini dinilai sebagai lembaga independen dan berhasil dalam melakukan upaya pencegahan dan penindakan kejahatan korupsi.

Atas dasar itu kebijakan pemerintah yang membiarkan pelemahan terhadap KPK dapat dipastikan akan mendapat kecaman dari negara lain yang juga mempunyai konsentrasi sama pada isu anti korupsi.

10. Menghambat pencapaian program pemerintah

Pada dasarnya kejahatan korupsi menyasar berbagai sektor strategis di Indonesia. Mulai dari pangan, infrastruktur, energi dan sumber daya alam, pendidikan, pajak, kesehatan, dan berbagai sektor lainnya.

Dengan kondisi seperti ini harusnya pemerintah memikirkan tentang penguatan KPK, agar setiap penyelenggaraan program tersebut dapat diikuti dengan penindakan jika ada pihak-pihak yang ingin menyelewengkan dana yang pada akhirnya akan berakibat menghambat berbagai capaian penting.

Namun, kondisi saat ini justru bertolak belakang, KPK secara institusi dan kewenangan terlihat sedang dilemahkan oleh DPR dan pemerintah.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Pengamat: Ini Ujian bagi Jokowi, Pilih Parpol atau Rakyat

Penulis : Fitria Chusna Farisa

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas