Koordinator MAKI: UU KPK Hasil Revisi Belum Bisa Berlaku, Ini Alasannya
Menurut MAKI, tidak berlakunya revisi UU KPK berkenaan tidak terpenuhinya mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menilai revisi Undang-Undang tentang KPK tidak sah berlaku.
Hal ini, karena tidak terpenuhinya mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut.
Dia mengungkapkan tiga alasan mengapa UU KPK itu tidak berlaku.
"Tidak berlakunya revisi UU KPK berkenaan tidak terpenuhinya mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan," kata Boyamin, kepada wartawan, Kamis (17/10/2019).
Alasan pertama, di revisi UU KPK terdapat kesalahan penulisan yang substansi. Namun oleh pemerintah dan DPR hanya dianggap typo yaitu persoalan usia 50 tahun, dalam kurung tertulis empat puluh tahun, yang kata anggota DPR tertulis lima puluh tahun (Pasal 29 Ayat e).
Baca: Hari Ini Mahasiswa Akan Mendemo Istana, Desak Jokowi Terbitkan Perppu KPK
Menurut dia, permasalahan ini menjadi substansi karena bisa menimbulkan sengketa terkait frasa mana yang sebenarnya berlaku apakah angka "50" atau huruf "empat puluh" dengan formasi : "50 ( empat puluh )".
Baca: Fadli Zon Disebut-sebut Masuk Bursa Calon Menteri di Kabinet Jokowi, Segini Daftar Kekayaannya
"Maka yang berlaku menimbulkan dua makna yang berlaku, yaitu "50" atau "empatpuluh" , dengan demikian yang seharusnya diubah adalah angkanya menjadi "40" jika yang dianggap benar adalah yang tertulis huruf "empat puluh". Dengan demikian hal ini bukan sekedar kesalahan typo, namun kesalahan substantif," kata dia.
Baca: Jokowi Dilantik 20 Oktober, Tapi Susunan Kabinet Jokowi-Maruf Sudah Bocor, Begini Reaksi Istana
Dia menjelaskan, dikarenakan kesalahan substantif maka cara pembetulan harus memenuhi persyaratan yaitu dengan mengulang rapat paripurna DPR, produk rapat paripurna hanya dirubah dengan rapat paripurna.
Dia menegaskan, koreksi yang bukan dengan rapat paripurna menjadikan Revisi UU KPK menjadi tidak sah dan batal demi hukum.
"Dalam azas bernegara termasuk azas hukum berlakunya Undang-Undang apabila terjadi perubahan maka harus dengan cara yang sama atau sederajad," ujarnya.
Dia mengungkapkan hal ini pernah berlaku pada kesalahan penulisan putusan kasasi Mahkamah Agung perkara Yayasan Supersemar "tertulis 139 juta" yang semestinya "139 milar".
Atas kesalahan ini tidak bisa sekedar dikoreksi dan membutuhkan upaya Peninjauan Kembali (PK) untuk membetulkan kesalahan penulisan.
Sementara itu, kata dia, pada saat ini belum terbentuk Alat Kelengkapan DPR termasuk Badan Legislasi (Baleg) sehingga koreksi yang dianggap typo oleh DPR saat ini tidak sah dikarenakan saat pengiriman revisi UU KPK saat itu oleh Baleg DPR.
"Untuk memenuhi syarat sahnya revisi UU KPK setelah ada kesalahan penulisan "50" atau "empatpuluh" hanya bisa dilakukan apabila telah terbentuk Alat Kelengkapan DPR termasuk Baleg dan harus melalui rapat paripurna DPR, sepanjang hal ini tidak dilakukan maka revisi UU KPK adalah tidak sah," kata dia.
Alasan kedua, UU KPK hasil revisi dinilai belum dapat berlaku, dia melanjutkan, revisi UU KPK masih menyisakan masalah yaitu tidak kuorumnya kehadiran secara fisik anggota DPR karena nyatanya yang hadir saat pengesahan rapat paripurna DPR hanya dihadiri 89 anggota, hal ini jelas-jelas tidak kuorum.
"Juga masih ada permasalahan dengan pembacaan revisi UU KPK karena nyatanya Fahri Hamzah selaku pimpinan rapat paripurna DPR tidak membacakan secara utuh materi revisi UU KPK, padahal sebelum dimintakan persetujuan harus dibacakan secara utuh untuk menghindari kesalahan sebagaimana terjadi saat ini," tambahnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.