Kisah Taufik Abdullah Dipecat Karena Kritis Terhadap Orde Baru Hingga Karyanya Diakui Dunia
Taufik berhak mendapatkan penghargaan ini karena dianggap sebagai sosok yang telah mendedikasikan hidupnya di dunia penelitian.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Profesor Taufik Abdullah terlihat tersenyum tipis saat membuka pidatonya di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (30/10/2019).
"Saya mengira i'm finish, saya mengira saya sudah selesai," ujar Taufik Abdullah mengawali pidatonya.
Pria kelahiran Bukittinggi, 83 tahun lalu tersebut, baru saja mendapatkan penghargaan Lifetime Achievement Award sebagai peneliti dari Himpunan Peneliti Indonesia (Himpenindo).
Taufik berhak mendapatkan penghargaan ini karena dianggap sebagai sosok yang telah mendedikasikan hidupnya di dunia penelitian.
Dirinya telah bergabung dengan LIPI sejak tahun 1960-an yang saat itu masih bernama Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Baca: Posisi Pelatih Persebaya Lowong, Aji Santoso Beri Respons Positif
Pria Minang ini menceritakan bergabungnya dirinya dengan LIPI berkat dukungan Guru Besar Sejarah Universitas Gadjah Mada Profesor Sartono Kartodirdjo.
Dirinya dianggap sebagai lulusan jurusan sejarah UGM yang cemerlang karena membuat skripsi dengan bahasa Inggris.
Taufik muda mengangkat skripsi tentang pertumbuhan nasionalisme di Eropa sejak Revolusi Prancis sampai revolusi tahun 1848.
Baca: Anggaran Bolpoin Rp 635 M, Anies Baswedan Kesal : Saya Punya 3 Pulpen, Mau Belanja Lagi?
"Skripsi saya adalah satu-satunya skripsi lulusan sejarah fakultas sastra UGM yang ditulis dalam Bahasa Inggris sampai sekarang. Soalnya yang membaca dan menilai skripsi saya adalah dosen-dosen yang berasal dari Inggris, India, dan Belanda," kata Taufik kepada Tribunnews.com.
Setelah bergabung dengan LIPI, Taufik mendapatkan jabatan Kepala Bagian Umum Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Saat itu karier Taufik mencapai puncaknya setelah diangkat sebagai Direktur Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (LEKNAS) LIPI pada 1974.
Pengangkatan dirinya sebagai direktur tepat seminggu sebelum peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari).
Dirinya mengaku menangis saat berpidato sebagai Direktur LEKNAS akibat peristiwa tersebut.
Empat tahun kemudian, tepatnya tahun 1978, demonstrasi mahasiswa kembali pecah memprotes rezim Orde Baru.
Baca: Penggemarnya Ada di Penjuru Dunia, Afgan Tak Sangka Bakal Gelar Fanmeeting Perdana di Korea Selatan