Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

BPJS Naik, Apakah Jaminan Pelayanan Akan Meningkat?

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Ada yang mendukung dan ada pula yang merasa terbebani

Penulis: Muhammad Nur Wahid Rizqy
Editor: Miftah
zoom-in BPJS Naik, Apakah Jaminan Pelayanan Akan Meningkat?
KOMPAS.com / Dian Ade Permana
Polemik mengenai naiknya iuran BPJS Kesehatan: Tak menjamin pelayanan bisa meningkat hingga peserta BPJS 

TRIBUNNEWS.COM -  Presiden Joko Widodo telah resmi menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan setelah Peraturan Presiden nomor  75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan diterbitkan.

Kepala Humas BPJS  Kesehatan, M Iqbal, menilai kenaikan iuran yang ditetapkan pemerintah adalah bagian untuk menjamin pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

Layanan kesehatan masyarakat  kepada peserta BPJS Kesehatan sempat terganggu akibat defisit anggaran BPJS senilai Rp 13,3 triliun di tahun 2019.

Dikutip dari Kompas TV, dengan kebijakan kenaikan iuran BPJS kesehatan ini, masyarakat juga bisa melaporkan jika ada pelayanan yang kurang bagi peserta BPJS Kesehatan.

“Kepentingan untuk memberi mutu layanan kepada masyarakat adalah sebuah prioritas. Tentu bagian dari penyesuain iuran itu mungkin tidak seluruhnya dilakukan terkait dengan kenaikan harga, tetapi ditengah kondisi yang mendesak ini memang harus dilakukan kebijakan tersebut,” ucap M Iqbal, dari tayangan YouTube Kompas TV, Minggu (3/11/2019).

M Iqbal juga menjelaskan berbagai masukan dari masyarakat terkait untuk kebaikan BPJS, akan selalu diterima sebagai wujud pembenahan yang konstruktif.

“Komitmen setiap masukan yang disampaikan masyarakat menjadi bagian yang konstruktif yang akan kita lakukan untuk perbaikan. Kami tidak sendirian, ada Pemerintah Daerah, ada Kementerian yang terkait,” ujar M Iqbal.

Berita Rekomendasi

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan disebabkan atas rugi yang diderita pemerintah yang mencapai nilai triliunan rupiah.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan hampir 2 kali lipat untuk setiap kelasnya.

Namun tidak semuanya setuju jika iuran BPJS dinaikkan.

Anggota Komisi 9 DPR RI, Kurniasih Mufidayati menekankan harus ada pengkajian ulang atas kenaikan ini.

Kurniasih juga menegaskan, permasalahan BPJS Kesehatan bukanlah hanya defisit anggaran saja, namun ada tata kelola BPJS Kesehatan yang tidak tepat.

“Komisi 9 dan Komisi 11 menolak rencana pemerintah untuk menaikkan premi JKN untuk peserta bukan penerima upah PBBU dan bukan pekerja BP kelas 3. Sampai data cleansing itu diselesaikan. Dan mengharapkan pemerintah untuk mencari cara lain dalam menangulanggi defisit Dana Jaminan Sosial atau DJS Kesehatan,” kata Kurniasih Mufidayati.

Dalam konferensi pers, Mufidah juga mempertanyakan letak akar masalah BPJS itu dimana,  menurut audit BPKP, banyak persoalan yang timbul tidak hanya dari permasalahan besaran iurannya.

“Akar masalahnya apakah disini, root problemnya itu dimana? Karena kita sudah membaca audit dari BPKP itu, banyak persoalan sebenarnya tidak hanya soal permasalahan besaran iuranya,” imbuhnya.

Penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS juga disampaikan oleh kordinator BPJS Watch, Indra Munaswar.

Ia meminta pemerintah mengkaji kenaikan tersebut.

Bagi BPJS Watch, seharusnya kerugian yang dialami oleh BPJS Kesehatan tidak dibebankan kepada peserta.

“Ketika para masyarakat ada yang tidak mampu membayar karena iuran yang diterimanya lebih kecil daripada manfaat yang harus dibayarkan, maka sesungguhnya tidak bisa berbuat apa-apa BPJS itu. Kami tidak setuju kalau itu dikenakan kepada peserta, karena pada dasarnya itu hak, bukan kewajiban,” ujar Indra Munaswar.

Indra juga menambahkan, tidak selayaknya semua itu dibebankan kepada masyarakat yang tidak bisa membayar iuran.

“Kewajiban jangan diartikan ketika ada masyarakat yang tidak bayar, lantas diberikan hukuman. Ini kan masyarakat banyak, sesungguhnya masyarakat-masyarakat yang mampu menjadi mandiri, sesungguhnya secara ekonomi dia belum tentu juga dikatakan mampu,” imbuhnya.

Bagi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), kenaikan iuran BPJS Kesehatan bukanlah hal yang utama.

Yang diharapkan adalah bagaimana BPJS Kesehatan sebagai pengelola mampu merespon klaim rumah sakit, termasuk menjalin komunikasi yang selama ini dianggap belum optimal.

“Rumah sakit biasanya saja, persoalan rumah sakit bukan dinaikkan atau tidaknya, tetapi pada responnya, kecepatan, tanggap, verifikasi, dan pembayaranya sesuai dengan klaim rumah sakit,” kata Hermawan Saputra, anggota PERSI.

Hermawan Saputra juga menegaskan yang menjadi perhatian para pengelola rumah sakit adalah tidak ada alasan bahwa anggaran tidak terpenuhi, atau tidak tersedia.

“Yang menjadi tolak ukur rumah sakit yaitu tidak ada alasan bahwa anggaran tidak dibayar atau tidak tersedia. Jangan mengkambing hitamkan kepada rumah sakit. Sesungguhnya rumah sakit melayani dan untuk kepentingan masyarakat,” imbuhnya.

Sementara, peserta PPU tingkat daerah yakni Kepala dan Wakil Kepala Daerah, pimpinan dan anggota DPRD daerah, PNS daerah, Kepala Desa, Perangkat Desa, dan peserta PPU pekerja swasta, berlaku mulai 1 Januari 2020.

Sementara, peserta PPU tingkat daerah yakni Kepala dan Wakil Kepala Daerah, pimpinan dan anggota DPRD daerah, PNS daerah, Kepala Desa, Perangkat Desa, dan peserta PPU pekerja swasta, berlaku mulai 1 Januari 2020.

Selanjutnya, Iuran untuk kategori peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) naik menjadi Rp 42.000 untuk kelas III, Rp 110.000 untuk kelas II dan sebesar Rp 160.000 untuk kelas I. Kenaikan iuran ini akan berlaku mulai 1 Januari 2020.

(Tribunnews.com/Muhammad Nur Wahid Rizqy)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas