The Guardian: Jokowi di Periode Kedua Tak Bisa Diandalkan
Dalam editorial yang diunggah pada Minggu (3/11/2019) itu, The Guardian berpendapat Jokowi tak bisa diandalkan untuk membela hak-hak dasar warganya.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Media terbitan Inggris, The Guardian, menulis editorial atau pandangannya soal periode kedua Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
Dalam editorial yang diunggah pada Minggu (3/11/2019) itu, The Guardian berpendapat Jokowi tak bisa diandalkan untuk membela hak-hak dasar warganya.
The Guardian memulai tulisannya soal bagaimana Jokowi menyatakan periode kedua dan terakhirnya bakal dijalani tanpa beban.
Namun pertanyaannya, bagaimana kebebasan Jokowi untuk memerintah ini akan terlaksana?
Kemenangan Indonesia atas era otoritarian Orde Baru dinilai penting sebagai model demokrasi bagi Asia dan negara-negara muslim.
Latar belakang Jokowi yang sederhana dan bebas dari kroni Orde Baru mengantarkannya sebagai sosok yang dijagokan. Ia berhasil meraih kursi gubernur DKI Jakarta, lalu presiden.
"Seperti Obama, dia membawa harapan di tengah politik yang rusak," ujar redaksi The Guardian.
Di periode kedua, Jokowi mengusung slogan kampanye "Indonesia Maju". Namun banyak pendukungnya melihat Indonesia justru sedang berjalan mundur.
Masalah mendesak seperti hak asasi manusia (HAM), toleransi beragama, serta kualitas demokrasi, dinilai malah menurun.
Meskipun langkah Jokowi membangun infrastruktur dan kesejahteraan sosial dipuji, ada kegagalan lain yang membuat Jokowi dikritik.
Di antaranya kegagalan menjegal korupsi dan kekerasan. Kemudian memberi lahan bagi kelompok Islam garis keras alih-alih menekan mereka. Jokowi dinilai sadar soal masalah ini sebagai penghambat kebijakan ekonominya yang dipuji.
"Wakil Presiden yang baru, Ma'ruf Amin, adalah ulama Islam konservatif yang kuat. Ia punya sejarah intoleransi terhadap penganut agama minoritas dan kelompok LGBT," tulis The Guardian.
The Guardian kemudian membahas bagaimana Jokowi menuai kemarahan setelah menunjuk lawannya, Prabowo Subianto, sebagai menteri pertahanan.
Padahal, mantan jenderal yang juga mantan menantu Soeharto itu diduga terlibat dalam penculikan dan kekerasan terhadap aktivis 1998.