Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Penjelasan Kemenang Soal Salam Lintas Agama yang Jadi Polemik Pasca-Imbauan MUI Jatim

Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Kementerian Agama (Kemenag), Muchlis M Hanafi kini angkat bicara menjelaskan polemik salam lintas agama

Penulis: Nidaul 'Urwatul Wutsqa
Editor: Daryono
zoom-in Penjelasan Kemenang Soal Salam Lintas Agama yang Jadi Polemik Pasca-Imbauan MUI Jatim
Portal Kementerian Agama
Muchlis M Hanafi, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Kementerian Agama 

TRIBUNNEWS.COM - Belakangan ini terjadi polemik pengucapan salam dari berbagai tradisi agama (lintas agama) yang dilakukan oleh para pejabat seiring kemajuan masyarakat.

Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Kementerian Agama (Kemenag), Muchlis M Hanafi, kini menjelaskan mengenai salam lintas agama (Islam) yang ramai disorot publik dan tokoh negara, pada Rabu (13/11/2019).

Menurut Muchlis, terdapat 2 dari 5  salam pembuka agama yang dinilai berpotensi merusak akidah seorang muslim bila diucapkan, yaitu salam Hindu (Om Swastiastu) dan salam Buddha (Namo Buddhaya).

Sementara itu, 3 lainnya adalah salam Katolik (Shalom), salam Kristen (salam sejahtera bagi kita semua), dan salam Khonghucu (salam kebajikan), tidak membawa nama Tuhan.

Makna dan maksudnya kurang lebih sama dengan Assalaamu’alaikum, tetapi hanya beda redaksi.

Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam tradisi Hindu, kata 'Om' simbol atau aksara suci untuk Tuhan.

Terdiri dari kata A (Brahma/Pencipta), U (Wisnu/Pemelihara) dan M (Siwa/Pengembali apa yang ada di semesta ke asalnya).

Berita Rekomendasi

Ketiganya dikenal Tri Murti.

Aksara AUM menjadi Om sebagai manunggalnya Tri Murti menjadi Tuhan.

Maha Esa Tuhannya, beragam sifatnya.

Swastyastu berasal dari kata Swasti (baik, sehat, selamat) dan Astu (semoga, berharap seperti itu).

Jika disambung, makna bebasnya: Ya Tuhan, semoga semua orang dan semua makhluk hidup selalu dalam keadaan baik, sehat, dan selamat.

Demikian pula dengan Namo Buddhaya (Terpujilah Buddha).

Bahkan, tidak sedikit kalangan ulama Islam, termasuk Buya Hamka, yang menduga Buddha Sidarta Gautama sebagai nabi.

Kurang lebih sama substansinya dengan salam umat Islam.

Kendati demikian, Muchlis mengatakan hal ini tentu kembali pada niat orang saat berucap.

Diketahui, semua agama meyakini Tuhan Yang Maha Esa.

"Zat Yang Wajibul-wujuud (Maha Ada), Yang Mahatinggi, Pencipta alam semesta dan Semua yang Wujud. Nama, sifat dan cara meyakininya bisa berbeda," terangnyanya dalam tulisannya yang diunggah di portal kemenag pukul 05.44 WIB.

Kemudian, dirinya menambahkan, beberapa salam tersebut berbeda nama, tapi tujuan sama.

Oleh karenanya, pihaknya mencontohkan kisah ulama, Al-Awzai dan al-Layts yang membolehkan sembelihan Ahlulkitab (Nasrani) yang disembelih dengan menyebut nama Yesus, Tuhan mereka.

Hal ini ia merujuk pada Ahkaam al-Qur'aan, al-Jasshash, 1/153.

"Ini tidak berarti semua agama sama. Masing-masing pemeluk agama berhak atas klaim kebenaran agamanya, tanpa menafikan eksistensi lainnya," ungkapnya.

Dirinya juga menegaskan, setiap pemeluk agama harus setia pada kebenaran tunggal yang diyakini.

Sehingga dalam hal ini, apabila pendekatannya teologis esoteris maka cukup pelik untuk dibahas.

Namun, bila pendekatannya secara sosiologis, kita akan mudah menemukan jalan tengahnya.

Muchlis menjelaskan juga, dalam bersosial, terkadang harus ada mujaamalah (basa-basi) antara komponen masyarakat yang majemuk.

Salam lintas agama yang diucap pejabat menurutnya hanyalah sebuah tegur sapa sebagai bentuk penghormatan kepada semua pemeluk agama.

Tidak sampai pada masalah keyakinan.

"Terlalu jauh bila dimaknai sebagai pengakuan dan permohonan doa kepada tuhan selain Allah yang menyalahi akidah."

"Sama halnya dengan ucapan selamat natal yang biasa diucap saat perayaan natal," kata dia. 

Tetapi, melihat dari itu semua, Muchlis juga menegaskan, apabila masyarakat umum atau masyarakat biasa (bukan tokoh) yang tidak ada kepentingannya dengan salam tersebut, maka sebaiknya tidak perlu ikut-ikutan mengucapkannya

Salam lintas agama hanyalah bertujuan untuk menebar damai di antara kalangan ragam beragama.

Adanya polemik mengenai salam lintas agama ini berawal dari beredarnya surat imbauan MUI Jawa Timur.

Surat edaran tersebut Nomor 110/MUI/JTM/2019 yang diteken Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Ainul Yaqin.

Dalam surat itu menyatakan bahwa mengucapkan salam semua agama merupakan bidah, mengandung nilai syubhat, dan patut dihindari umat Islam.

Surat imbauan tersebut dikeluarkan berdasarkan pada putusan Dewan Pimpinan MUI Jawa Timur yang merujuk pada rekomendasi Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI 11-13 Oktober 2019 di Nusa Tenggara Barat.

Melansir dari Tribunnews.com, ada 8 poin dalam surat imbauan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yakni menyerukan kepada umat Islam dan kepada pemangku kebijakan agar tidak menggunakan salam lintas agama termasuk dalam sambutan-sambutan di acara resmi.

Dengan kata lain MUI Jatim meminta umat muslim mengucapkan salam sesuai dengan agamanya (Islam). (*)

(Tribunnews.com/Nidaul 'Urwatul Wutsqa)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas