Ketua PBNU Tanggapi Aksi Bom di Polrestabes Medan: Radikalisme Itu Penyakit
Ketua PBNU tanggapi aksi bom bunuh diri di Medan: Radikalisme itu penyakit yang tidak hanya diobati dengan pelarangan cadar, tapi dengan pemahaman.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Ayu Miftakhul Husna
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud memberikan tanggapan tekait aksi bom bunuh diri yang terjadi di Polrestabes Medan (13/11/2019).
Menurutnya, masalah radikalisme yang terus terjadi disebabkan pemahaman yang tidak tepat.
Radikalisme adalah penyakit yang tidak bisa diobati hanya dengan pelarangan cadar, obat dari radikalisme adalah pemahaman.
"Radikalisme itu penyakitnya, 'jangan hanya' diobati dengan pelarangan cadar, karena itu sama dengan penyakit panas yang diobati dengan es," tutur Marsudi Syuhud dilansir dari YouTube Najwa Shihab (13/11/2019).
Ia menekankan kata 'jangan hanya' saat berbicara, dan mengibaratkan radikalisme dengan penyakit panas yang diobati dengan es.
"Penyakit panas mungkin karena sakit tenggorokan, memang ada benarnya untuk mengompres dengan es. Begitu pula dengan cadar, mungkin ada benarnya karena ketika ada pengeboman dilakukan orang bercadar. Artinya yang harus ditemukan obatnya adalah pemahaman," paparnya.
Hilangnya Mata Pelajaran Pemahaman Moral Pancasila (PMP) sejak awal era reformasi (1998) hingga sekarang, membuat masyarakat di generasi tersebut kehilangan pemahaman tentang kenegaraan.
Akibatnya, generasi ini rawan disusupi paham-paham radikalisme.
"Mestinya Menteri Agama atau Pemerintah menambahkan materi di buku agama terkait Pemahaman terhadap Negara Pancasila menurut agama Islam misalnya, itulah obatnya, bukan larangan cadar," ungkapnya.
Menurutnya aksi pengeboman di simbol-simbol negara, mengindikasikan bahwa kelompok masyarakat tertentu masih menganggap Negara Indonesia bukan negara yang islamik namun masih politik dan hukum.
Ia juga menyatakan, rata-rata para pelaku aksi pengeboman berasal dari sekolah umum.
Di sekolah umum seperti SD, SMP dan SMA, ajaran agamanya kurang.
Sehingga orang yang dulunya bersekolah di sekolah umum, ketika kuliah akan mencari sumber pengetahuan agama.
"Yang dari SD, SMP masih kekurangan tentang ajaran agamanya, kemudian masuk SMA atau Perguruan Tinggi, eksistensi orang ini ingin disebut sebagai orang yang agamis, maka ia akan mencari-cari (agama)," katanya.
Marsudi pun menyarankan, sebaiknya pada tahap tersebut para orangtua benar-benar mengawasi anak-anaknya terkait organisasi yang diikutinya.
"Ketika yang dicari-cari itu Kiai NU, Muhammadiyah, Al Washliyah, organisasi yang eksis di Indonesia itu lumayan," katanya.
Ia berharap anak-anak yang akan berorganisasi untuk mengikuti organisasi yang sudah benar-benar eksis, untuk menghindari bergabung dengan organisasi-organisasi radikal.
Sementara itu menurut anggota Komisi II DPR (Politik, Pemerintah Dalam Negeri dan Agraria) dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Achmad Baidowi.
Menurut Baidowi, pemerintah sudah kecolongan.
"Kalau kami mengkritisi pemerintah, ya memang pemerintah kecolongan, pemerintah punya alat-alat canggih, harusnya perlu dilakukan pencegahan dari awal," kata Baidowi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) menyatakan, pemerintah enggan disebut kecolongan atas peristiwan bom bunuh diri di Polrestabes Medan.
Namun menurut Baidowi, pemerintah sudah kecolongan dan harus lebih meningkatkan kewaspadaan.
Sebab, di instansi pemerintah, khususnya kantor polisi yang seharusnya menjadi tempat yang steril dari terorisme justru malah mudah ditembus teroris.
"Pelaku sempat diperikasa dua kali, kok bisa lolos? Apakah tidak ada alat pendeteksi di kantor polisi? Ini kantor polisi, kalau kantor polisinya tidak aman, bagaimana dengan tempat-tempat lain?" papar Baidowi.
Menurutnya, peristiwa semacam ini lumrah jika mendapatkan sorotan dunia.
Sebab, peristiwa tersebut terjadi di instansi pemerintah yang harusnya mempunyai tingkat keamanan yang ketat.
"Ini bukan main-main, misal bom meledak di pasar, kita tidak dapat mendeteksi siapapun," ungkap pria yang mempeoleh dukungan 82.050 suara pada Pemilu 2019 ini.
Maka pemerintah perlu meningkatkan keberanian dalam melakukan tindakan pencegahan.
Pencegahan sejak awal harus dilakukan jika sekiranya ada tindakan yang berpotensi berbuat destruktif apalagi sampai meledakkan bom.
Undang-undang terorisme yang sudah direvisi juga seharusnya memantapkan langkah pemerintah dalam melakukan pencegahan, bukan malah menjadi keragu-raguan pemerintah.
Menurutnya, apabila peristiwa bom bunuh diri di Polrestabes Medan dikaitkan dengan jaringan terorisme internasional, maka teroris akan selalu memanfaatkan kesempatan dimanapun itu.
Teroris tidak akan lagi memanfaatkan momentum, seperti bulan puasa atau natal.
"Tidak ada momentum yang dibidik, momentum yang dibidik adalah kelengahan dari aparat kita, hari ini momentum apa? Natal dan tahun baru masih lama," kata Baidowi.
(Tribunnews.com/Rica Agustina)