Hasil Lelang Aset First Travel Diserahkan ke Negara, Wasekjen MUI Imbau untuk Diserahkan pada Korban
Wasekjen MUI mengatakan dalam hukum islam, denda pengadilan diserahkan kepada korban.
Penulis: Nuryanti
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia memutuskan uang hasil lelang aset First Travel akan diserahkan kepada negara.
Keputusan tersebut menimbulkan pro-kontra kepada para korban dan masyarakat.
Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Tengku Zulkarnain mengatakan, menurut hukum islam jika terjadi denda dari keputusan pengadilan, hasil denda diserahkan kepada korban.
"Kami memandang persoalan ini dari Majelis Ulama Indonesia, sedikit mengulas tentang hukum, bahwa dalam hukum islam itu progressive law dan restorative justice. Jadi progressive law itu menegakkan hukum secara formil dan materil, juga ada restorative justice," ujarnya, Selasa (19/11/2019), dilansir dari YouTube Indonesia Lawyers Club.
"Sekarang negara-negara maju sudah mulai mengambilnya, misalnya kalau terjadi denda di pengadilan, dan itu untuk korban bukan untuk negara, islam sudah 14 abad melakukan itu," lanjutnya.
Kemudian, ia memberi contoh kasus penabrakan yang menyerahkan hasil denda untuk korban yang ditabrak.
"Misalnya kita nabrak orang nggak sengaja, mati. Itu kan di hukum di pengadilan dan bayar 100 ekor unta, 5 miliar, nah duitnya itu oleh negara diambil sebentar saja, terus diserahkan kepada keluarga korban, bukan diambil oleh negara dan digunakan oleh negara," kata dia.
"Jadi hukumnya itu restorative justice, jadi ada pengobat luka bagi korban," lanjutnya.
Ia mengawatirkan kasus denda yang diserahkan kepada negara tersebut, berakibat kepada masyarakat yang nantinya tidak mau menyelesaikan hukum di pengadilan.
"Jadi setiap penipuan itu dilakukan perampasan oleh negara, jadi nanti orang yang tertipu tidak mau berpengadilan ke negara, main diselesaikan di jalan aja," ujarnya.
KH. Tengku Zulkarnain kemudian mengimbau untuk pihak pengadilan bisa memberikan uang hasil lelang kepada para jemaah yang menjadi korban.
"Dalam hal ini Majelis Ulama mengimbau pakai nurani juga lah, tentu saja kalau ini restorative justice, seluruh uang nasabah yang berhasil diselamatkan dari First Travel wajib dikembalikan kepada nasabah," ungkapnya.
Sebelumnya, kasus penipuan First Travel ini sudah bergulir sejak 2017, hingga kini kasus tersebut belum menemui titik terang.
Para korban diperkirakan tidak akan menerima kembali uang yang mereka setor kepada First Travel.
Mengingat Kejaksaan Negeri Depok menyatakan, uang hasil lelang dari barang sitaan kasus tersebut akan diserahkan kepada negara.
Seorang korban bernama Qomar mengaku dirugikan oleh First Travel hingga Rp 420 juta.
Terdapat 26 anggota keluarganya yang terdaftar sebagai jemaah First Travel.
"Secara pribadi sebagai korban, saya 26 orang, sekitar Rp 400 juta sekian (kerugian), kalau untuk aset first travel yang kemarin sudah inkrah (berkekuatan hukum tetap) yang dirampas oleh negara, secara pribadi saya tidak ikhlas," katanya, dilansir tayangan YouTube KOMPASTV, Minggu (17/11/2019).
Meskipun merasa tidak ikhlas jika kerugian uangnya tidak dikembalikan kepada dirinya, Qomar mengaku tak akan melakukan upaya banding.
Qomar berharap ada bantuan dari pemerintah yang membantu dan meringankan para korban.
"Untuk berikutnya, kita tidak akan melakukan upaya hukum lagi, kita hanya berharap pemerintah hadir disitu," ujarnya.
Kejaksaan Negeri Depok segera melelang barang bukti bernilai ekonomis penipuan umrah First Travel.
Hal tersebut dilakukan setelah putusan atas kasus ini berkekuatan hukum tetap.
Namun semua hasil lelangan itu nantinya akan disita negara dan tidak dikembalikan kepada korban.
Kepala Kejaksaan Negeri Depok, Yudi Triadi mengatakan, pihaknya telah mencoba mengakomodir para korban first travel.
"Kami coba mengakomodir para korban First Travel itu, kami mencoba melakukan upaya hukum kembali, biar bisa mengembalikan hak-hak para korban First Travel ini," ungkapnya.
Majelis hakim berpendapat akan terjadi ketidakpastian hukum jika aset dikembalikan kepada calon jemaah yang merupakan korban.
"Kemudian Mahkamah Agung juga menolak, itu sudah upaya hukum kita secara maksimal dalam tahap kasasi," lanjut Yudi.
(Tribunnews.com/Nuryanti)