Komnas HAM Minta Jaksa Agung Klarifikasi dan Batalkan Syarat CPNS 2019 yang Dinilai Diskriminatif
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan pihaknya telah mengirim surat ke Kejaksaan Agung RI.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas HAM menilai persyaratan penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di lingkungan Kejaksaan Agung RI diskriminatif terhadap kelompok orientasi seksual dan identitas gender tertentu untuk menikmati hak atas pekerjaan.
Hal itu dinilai setelah Komnas HAM mencermati pengumuman penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan
Agung RI Nomor PENG-01/C/Cp.2/11/2019 tentang Pelaksanaan Seleksi Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan Republik Indonesia Tahun Anggaran 2019.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan pihaknya telah mengirim surat ke Kejaksaan Agung RI guna meminta klarifikasi sekaligus pembatalan syarat tersebut.
"Komnas HAM sudah melayangkan surat kepada Jaksa Agung untuk meminta klarifikasi sekaligus melakukan pembatalan persyaratan tersebut," kata Beka dalam keterangan resmi Komnas HAM pada Senin (25/11/2019).
Komnas HAM menilai persyaratan khusus pada lima jabatan dengan seluruh formasinya, bertentangan dengan prinsip dan nilai hak asasi manusia yang terkandung dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Beka menjelaskan, secara spesifik, Komnas HAM mendapati 12 kali kalimat “tidak cacat mental termasuk kelainan orientasi seks dan kelainan perilaku (transgender)” yang disebutkan pada pengumuman tersebut.
"Komnas HAM menilai, pengecualian pada kelompok tertentu sama sekali tidak berkaitan dengan nilai dan bentuk pekerjaan pada jabatan-jabatan tersebut. Artinya, semua orang dapat melakukan pekerjaan pada jabatan tersebut tanpa
melihat orientasi seksual dan identitas gendernya," kata Beka.
Dengan begitu, meurutnya persyaratan tersebut terbukti bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28I (2) yang
menyebutkan “setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Ia menilai, persyaratan tersebut juga mencederai UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2) yang menyatakan, “Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
"Perlu digaris bawahi bahwa setiap warga negara pada ayat tersebut menunjukkan tidak ada pengecualian warga negara untuk menikmati
hak ini," kata Beka.
Selain itu, menurutnya persyaratan diskriminatif tersebut bertentangan dengan kewajiban lembaga negara untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia semua warga negara termasuk kelompok berbasis orientasi seksual dan identitas gender.
Hal tersebut menurut Beka sejalan dengan Pasal 2 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan”.
Ia mngatakan, instrumen HAM lainnya yang menjamin pemenuhan hak atas pekerjaan adalah Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Ratifikasi kovenan ini menurutnya mempertegas tanggung jawab negara sebagai pengemban kewajiban (duty bearer) untuk dapat memenuhi kebutuhan minimal hak-hak ekosob.
"Tanggung jawab negara untuk memenuhi dan melindungi hak atas pekerjaan meliputi beberapa aspek sesuai dengan Komentar Umum Nomor 8, yaitu aspek ketersediaan, aspek aksesibilitas, dan aspek akseptabilitas," kata Beka.
Terlebih menurutnya, sebagai Anggota ILO sejak tahun 1950, Indonesia telah meratifikasi berbagai Konvensi ILO seperti Konvensi Nomor 88/1948 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Kerja dan meratifikasi Konvensi Nomor 111/1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.
Oleh karena itu, Beka menilai Indonesia harus patuh pada Konvensi-Konvensi ILO untuk memajukan kesempatan bagi siapapun untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang merdeka, setara, aman, dan bermartabat.
Selain itu menurut Beka, Lembaga Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1992 telah menghapus kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender dari daftar penyakit kejiwaan.
Memurutnya, pernyataan WHO itu diamini oleh Kementerian Kesehatan melalui PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) III tahun 1993 yang juga menyatakan bahwa kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender bukan merupakan penyakit jiwa maupun cacat mental.
Selain itu menurutnya, pada 17 Oktober 2019, Indonesia terpilih menjadi Anggota Dewan HAM PBB untuk periode
2020-2022 sehingga mekanisme kerja yang dibangun oleh setiap lembaga negara termasuk Kejaksaan Agung
RI wajib berbasis pada prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia.
"Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, Komnas HAM meminta klarifikasi dan pembatalan persyaratan tersebut dalam proses penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di lingkungan Kejaksaan Agung RI," kata Beka.