Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Cerita Airlangga Nahkodai Golkar Saat Diterjang Badai Kasus Setya Novanto

Mulanya, Airlangga bercerita bagaimana kepemimpinnya dihadapi dengan berita negatif hingga masalah dualisme kepengurusan karena Pilpres 2014

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
zoom-in Cerita Airlangga Nahkodai Golkar Saat Diterjang Badai Kasus Setya Novanto
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyerahkan berkas pendaftaran bakal calon ketua umum (caketum) Partai Golkar kepada Ketua Komite Pemilihan Maman Abdulrahman di DPP Partai Golkar, Jakarta, Senin (2/12/2019). Partai Golkar akan melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) pada 3 Desember 2019 dengan salah satu agendanya pemilihan ketua umum periode 2019-2024. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menceritakan masa-masa suram partai Golkar.

Hal itu disampaikan Airlangga saat memaparkan laporan pertanggung jawaban (LPJ) pengurus DPP Partai Golkat dalam Munas X Golkar, di Ballroom Hotel Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (4/12/2019).

Baca: Pemilihan Ketua Umum Golkar Kemungkinan Digelar hari Ini

Mulanya, Airlangga bercerita bagaimana kepemimpinnya dihadapi dengan berita negatif hingga masalah dualisme kepengurusan karena Pilpres 2014 serta kasus korupsi eks ketum Golkar, Setya Novanto.

Airlangga masih ingat betuk bagaimana menghadapi dualisme Golkar di tahun 2014-2016.

"Sebelum Munaslub 2017 Partai Golkar berada dalam situasi yang sangat terpuruk selama kurang lebih 2 tahun dari 2014-2016 terjadi dualisme kepengurusan baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam situasi semacam itu, konsolidasi, kaderisasi dan pembinaan tidak berjalan semestinya," kata Airlangga.

BERITA TERKAIT

Di tahun 2015, Airlangga mengatakan, partai berlambang pohon beringin ini hampir tidak bisa mengusung calon di pilkada karena tidak ada kesepakatan antara dua pengurus partai.

Bahkan, kader Golkar malah diusung partai lain dan beberapa yang memenangkan pilkada akhirnya pindah haluan.

"Dualisme diakhiri Munaslub 2016 di Bali. Salah satu keputusan penting adalah menetapkan posisi politik Golkar semula di luar pemerintahan yang berubah jadi pendukung pemerintah Jokowi-JK (Jusuf Kalla,red) bersama KIH (Koalisi Indonesia Hebat,red)," ungkap Airlangga.

Ia pun menyebut, pada tahun 2016, Golkar mengalami gonjangan badai yang besar.

Di mana, saat itu Setya Novanto terjerat kasus korupsi e-KTP.

Peristiwa itu membuat Golkar menjadi bulan-bulanan media terutama berita negatif di media sosial sehingga citra dan elektabilitas Golkar merosot tajam.

"Dalam situasi krusial tersebut mengantarkan terjadinya Munaslub 2017 dan saya terpilih secara aklamasi. Ibarat kapal yang oleng (dihantam,red) badai besar Golkar menemukan nahkoda menyelamatkan kapal tersebut sehingga penumpang selamat sampai tujuan," kata Airlangga.

Airlangga pun tancap gas dengan bersih-bersih di Partai Golkar.

Baca: Ketua Tim Pemenangan: Bamsoet Mundur Tanpa Intervensi Jokowi

Hasilnya, perolehan kursi Golkar sebagai pemenang kedua dengan memperoleh 85 kursi DPR RI.

Hal terpenting, jelas Airlangga, Golkar berhasil mengantar Jokowi-Maruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden 2019-2024.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas