KPK Tegaskan Bakal Kejar Bukti Kasus Mafia Migas Petral Hingga ke Luar Negeri
"Itu sudah disampaikan sejak awal ya bahwa diduga ada beberapa bukti yang perlu kami cari di beberapa negara lain di dunia," ujar Febri Diansyah
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkomitmen mengusut tuntas kasus dugaan suap terkait perdagangan minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Energy Services Pte Ltd (PES) selaku subsidiary company PT Pertamina (Persero) atau mafia migas yang menjerat mantan Managing Director PES dan mantan Direktur Utama Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) Bambang Irianto.
Bahkan, KPK bakal mengejar bukti-bukti kasus ini hingga ke luar negeri.
Baca: BPIP Siap Aplikasikan Pancasila Lewat Cara Kekinian
"Itu sudah disampaikan sejak awal ya bahwa diduga ada beberapa bukti yang perlu kami cari di beberapa negara lain di dunia," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Rabu (4/12/2019).
Dalam kasus ini, Bambang diduga menerima suap sekitar 2,9 juta dolar AS dari Kernel Oil yang berkedudukan di Singapura selama periode 2010-2013 karena telah membantu Kernel Oil untuk berdagang produk kilang dan minyak mentah dengan PES atau Pertamina di Singapura dan pengiriman kargo.
Uang suap itu diduga ditampung Bambang di Siam Group Holding Ltd, perusahaan cangkang yang didirikannya di negara surga pajak, British Virgin Island.
Dalam melancarkan aksinya, Bambang bersama-sama petinggi PES lainnya diduga menggunakan perusahaan minyak nasional Uni Emirates Arab, Emirates National Oil Company (ENOC) sebagai kamuflase untuk memuluskan perdagangan minyak mentah antara PES dengan Kernel Oil.
Nama ENOC disalahgunakan Bambang lantaran adanya persyaratan perdagangan minyak mentah dan BBM yang dilakukan Pertamina dan anak usahanya mengutamakan pembelian langsung ke sumber-sumber utama dengan urutan prioritas: NOC (National Oil Company), Refiner/Producer, dan Potential Seller/Buyer.
Dengan demikian, terdapat sejumlah negara yang terkait dengan kasus mafia migas ini, seperti Singapura, Uni Emirates Arab hingga British Virgin Island.
Febri mengakui penanganan kasus korupsi lintas negara seperti kasus mafia migas tak semudah penanganan perkara korupsi di Indonesia.
Namun, KPK memastikan akan berupaya maksimal untuk mengusut kasus ini.
Untuk itu, KPK membangun komunikasi dan kerja sama dengan otoritas di sejumlah negara terkait.
"Kami pasti akan berupaya secara maksimal untuk menangani setiap perkara yang ada, tapi mungkin akan berbeda ya perkara yang ditangani jika buktinya hanya ada di Indonesia dengan perkara yang perlu melakukan pencarian bukti di beberapa negara di dunia. Apalagi negara-negara yang masuk kategori tax haven countries atau overseas territories sehingga ada perbedaan aturan hukum dan kerahasiaan perbankan yang ada di sana. Itu pasti lebih tidak mudah tapi kami akan berupaya semaksimal mungkin untuk menangani perkara tersebut. Dari pengalaman sebelumnya perkara KTP elektronik, Garuda, itu kami sudah bekerja sama lintas negara. dulu ada perkara Alstom ya dan Innospec dan beberapa perkara yang lain," katanya.
Tim penyidik KPK dalam beberapa hari terakhir memeriksa sejumlah pegawai, pejabat dan mantan pejabat Pertamina atau PES. Febri menyatakan, pemeriksaan tersebut dilakukan lantaran tim penyidik saat ini sedang mendalami proses perdagangan minyak dan produksi kilang di Petral, termasuk mengenai aturan-aturan menyangkut hal tersebut.
Dari pendalaman tersebut, KPK akan memetakan pihak-pihak yang diduga terlibat atau setidaknya mengetahui mengenai sengkarut kasus ini.
"Jadi kami dalami dulu alurnya nanti tentu didalami lebih lanjut dari pemeriksaan berikutnya, apakah terkait dengan siapa pejabat yang berwenang pada saat itu, apakah ada aliran dana, atau yang lainnya," katanya.
Dengan kompleksitas yang ada, penuntasan kasus mafia migas ini diprediksi membutuhkan waktu yang cukup lama. KPK menegaskan tak akan menghentikan kasus ini, meski Pasal 40 UU nomor 19/2019 tentang perubahan atas UU 30/2002 tentang KPK menyebutkan KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Febri menjelaskan, terdapat kekeliruan sebagian kalangan memahami aturan mengenai penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam UU KPK yang baru tersebut.
Baca: Satu Jenazah Penyelam yang Tewas di Pulau Sangiang Teridentifikasi Seorang WNA Singapura
Dikatakan, KUHAP telah mengatur mengenai persyaratan suatu kasus dapat dihentikan atau di-SP3, yakni tidak cukup bukti, bukan tindak pidana, dan dihentikan secara hukum seperti karena tersangka meninggal dunia atau perkaranya sudah kadaluarsa.
"Jadi bukan karena waktu dua tahun kemudian dihentikan. Ada tiga syarat penghentian sesuai dengan kuhap. Artinya sepanjang tidak memenuhi tiga syarat itu maka perkara akan tetap berjalan. Itu yang perlu diluruskan soal pasal tentang SP3 di undang-undang KPK yang baru," kata Febri.