Polemik Khilafah dalam AD/ART FPI, Rocky Gerung Sebut Tidak Pancasilais Bukan Berarti Anti Pancasila
Akademisi Rocky Gerung menilai tak masuk akal jika Pancasilais digunakan sebagai ideologi Negara Indonesia.
Penulis: Nuryanti
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Akademisi Rocky Gerung menilai tak masuk akal jika Pancasilais digunakan sebagai ideologi Negara Indonesia.
Diketahui, saat ini pemerintah belum memberikan perpanjangan izin kepada organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam (FPI).
Alasannya karena terdapat kata "Khilafah" di dalam pasal 6 Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) FPI.
Rocky pun memberikan contoh jika dirinya menyebut sebagai orang yang tidak Pancasilais.
Ia menjelaskan, dirinya tidak bisa diusir dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena itu tidak mengartikan dia sebagai orang yang anti Pancasila.
"Kalau saya bilang saya nggak Pancasilais, lalu orang usir saya dari NKRI, gitu," ujar Rocky Gerung di Studio TV One, Selasa (3/12/2019), dikutip dari YouTube Indonesia Lawyers Club.
"Saya bilang saya tidak Pancasilais, bukan anti Pancasila," lanjut Rocky.
Ia menyebut tidak masuk akal jika Pancasilais digunakan sebagai ideologi Indonesia.
"Saya kira tidak masuk akal Pancasilais digunakan sebagai ideologi negara," katanya.
Menurutnya, sebuah negara itu hanya benda mati.
"Negara itu bukan barang abstrak, benda mati pula, yang bergerak itu orang," katanya.
Ia pun mengaku tidak setuju jika penetapan Pancasila sebagai ideologi sudah final.
"Kalau dikatakan ideologi Pancasila sudah final, bagaimana finalnya," ungkap Rocky.
"Kalau final artinya potensi cara pikir manusia itu berhenti," lanjutnya.
Rocky mengatakan, Pancasila tidak bisa diubah, namun karena konstitusi bisa diubah, maka menurutnya Pancasila juga bisa diubah.
"Pancasila tidak mungkin diganti, diubah bahkan," katanya.
"Pancasila masuk dalam konstitusi, kalau konstitusi diubah, ya Pancasila bisa diubah," ujar Rocky.
Pendapatnya itu, ia tegaskan sudah menggunakan logika yang tajam.
"Dengan logika tajam, saya bilang itu bisa diubah," katanya.
"Yang nggak bisa diubah hanya bentuk negara," lanjut Rocky Gerung.
Rocky Gerung mengatakan, negara memberi syarat organisasi masyarakat (ormas) tidak boleh berlambang negara dan harus berdasarkan ideologi negara.
"Syarat ormas tidak boleh berlambang seperti lambang negara, karena ormas itu bukan negara," ujar Rocky di Studio TV One, Selasa (3/12/2019), dikutip dari YouTube Indonesia Lawyers Club.
"Tapi kemudian dikasih syarat yang kontroversi lagi, ormas harus berdasarkan ideologi negara," lanjutnya.
Menurut Rocky, pemerintah memberi peraturan segala yang dilarang dan diperbolehkan untuk sebuah ormas.
"Negara ingin mengatur segala yang boleh dan segala yang bukan," katanya.
Rocky mengatakan, saat ini semua dilarang oleh pemerintah, kecuali jika ada izinnya.
"Dalam demokrasi, semua diizinkan kecuali yang dilarang, sekarang dibalik, semua dilarang kecuali minta izin," jelasnya.
"Itu logika kacau dari demokrasi," lanjut Rocky Gerung.
Rocky berpendapat, sebuah ormas memang harus berbeda dengan pemerintah.
"Kalau dia ormas, dia harus berbeda dengan pemerintah," ujarnya.
"Kalau ormas sama dengan pemerintah, ya namanya orneg, organisasi negara," kata Rocky.
Sehingga, Rocky berujar jika banyak peraturan yang menurutnya kacau.
"Jadi banyak logika yang kacau yang disampaikan di publik," ungkapnya.
"Kita nggak tahu dalil pertama bernegara," lanjut Rocky.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri ( Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, ada beberapa masalah pada AD/ART FPI.
Sehingga proses perpanjangan SKT FPI itu akan memakan waktu lebih lama.
Dikutip dari laman Kompas.com, Jumat (29/11/2019), Tito mengatakan, dalam visi dan misi FPI, terdapat penerapan Islam secara kafah di bawah naungan khilafah Islamiah dan munculnya kata NKRI bersyariah.
"Tapi kemarin sempat muncul istilah dari FPI mengatakan NKRI bersyariah. Apakah maksudnya dilakukan prinsip syariah yang ada di aceh apakah seperti itu?" ujar Tito dalam rapat kerja bersama Komisi II di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Tito menambahkan, dalam AD/ART FPI tersebut terdapat pelaksanaan hisbah (pengawasan).
Menurut Tito, terkadang FPI melakukan penegakan hukum sendiri seperti menertibkan tempat-tempat hiburan dan atribut perayaan agama.
Sehingga mantan Kapolri itu khawatir jika hisbah yang dimaksud FPI adalah tindakan-tindakan tersebut.
Tito menuturkan, pelaksanaan hisbah yang dimaksud FPI itu harus dijelaskan agar tidak menyimpang.
"Dalam rangka penegakan hisbah. Nah ini perlu diklarifikasi. Karena kalau itu dilakukan, bertentangan sistem hukum Indonesia, enggak boleh ada ormas yang melakukan penegakan hukum sendiri," jelas Tito.
(Tribunnews.com/Nuryanti) (Kompas.com/Haryanti Puspa Sari)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.