Rocky Gerung Sebut Pemerintah Hanya Menakut-nakuti Warga Negara dengan Alat FPI
Rocky Gerung menganggap pemerintah menjadikan FPI sebagai alat untuk menakut-nakuti warga negara di Indonesia. Ia juga membandingkan FPI dengan NU.
Penulis: Nidaul 'Urwatul Wutsqa
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Rocky Gerung menganggap pemerintah menjadikan keberadaan Front Pembela Islam (FPI) sebagai alat untuk menakut-nakuti warga negara di Indonesia.
Soal penerbitan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI yang hingga kini belum ada kejelasan juga dipertanyakan oleh Rocky Gerung.
Rocky menganggap hal itu merupakan bentuk ketakutan pemerintah yang tidak dapat dibuktikan secara logis.
Bahkan dirinya menduga pemerintah menjadikan FPI sebagai alat untuk menakut-nakuti warganya agar ormas FPI tidak berlanjut di Indonesia.
"Jadi Anda (pemerintah) membayangkan sesuatu dan Anda tarik bayangan buruk itu untuk menakut-nakuti warga negara dengan akibat keakraban berwarga negara terganggu itu. Di mana otaknya tu?" ujar Rocky dalam Indonesia Lawyers Club TVOne, Selasa (3/12/2019).
Kembali ia menegaskan bahwa seluruh pernyataan yang dikeluarkan oleh anggota DPR harus bisa diuji dan dipastikan.
Rocky pun mempertanyakan kekhawatiran negara tentang adanya ormas FPI yang tidak bisa dibuktikan secara data.
"Kalau dikatakan misalnya, 'Nanti FPI punya cita-cita negara Islam dan pada waktunya nanti akan menimbulkan kekerasan', istilah 'pada waktunya' itu kapan?" tanya Rocky dalam dialektikanya.
"Nanti 2 menit sebelum akhirat? Atau sebelum Indonesia hancur misalnya kalau nggak membayar hutang itu?" sambungnya melemparkan retorika.
Rocky mengatakan warga negara Indonesia kini posisinya dituntut untuk menghasilkan pembicaraan tanpa tuntunan logika.
Hal itu membuat kacau bagi masyarakat yang hidup bernegara.
Sebelumnya, terdapat pernyataan bahwa NU menganut Pancasila sehingga bagi NU tidak ada problem dengan idelogi Pancasila itu sendiri.
Mantan dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI) itu tampak menguji logika dari pernyataan NU itu.
"Coba ganti sekarang dicopot Pancasilanya tuh. Bubar nggak NU? Nggak bakal! Karena udah terlalu besar 40 juta mau dibubarin oleh pemerintah, mau dilarang kalau NU nggak pasang Pancasila. Karena fakta kekuasaan menjamin keutuhan NU," tegas Rocky.
Kemudian, ia tampak menyinggung dan memperbandingkan keberadaan FPI dengan Nahdatul Ulama (NU).
Ia mengatakan, anggota dari ormas FPI jauh lebih kecil jika dibandingkan anggota NU di Indonesia, sehingga FPI sangat rawan untuk dibubarkan.
"Coba FPI jumlahnya setara NU, dia mau taruh ideologi apa pun, negara nggak bakal mbubarin. Ini soal pertandingan kekuasaan," lanjut Rocky.
Tak sampai di situ, ia membuat pula perbandingan antar ketua ormas FPI dengan beberapa tokoh yang terlihat berseberangan.
"Kalau misalnya ketua FPI hari ini Guntur Romli bukan Habib Rizieq, mau dibubarin nggak tuh FPI? Atau sebaliknya Habib Rizieq adalah ketua BPIP menggantikan Mahfud, bubar nggak FPI?" tandasnya.
Dari soal tersebut, Rocky mengatakan dirinya mengajak menguraikan dan memperlihatkan bahwa taraf kita untuk bernegara itu masih jauh di bawah standar.
Ia tegaskan hal yang menjadi sebab adalah adanya perbincangan tentang hal-hal yang tidak substansial hanya karena ketakutan.
Maka dari itu, pihaknya berpendapat agar pemerintah dapat membiarkan pergerakan ormas FPI di Indonesia.
"Front Pembela Islam, jelas kata Islam di belakangnya, ya dengan sendirinya inheren di dalam Islam adalah keyakinan dirinya, keyakinan ideologisnya tuh. Ya sudah biarkan saja kan?"
"Toh Pancasila juga dasarnya tadinya adalah Piagam Jakarta. 'Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya', 7 kata itu kita hapus, demi apa? Demi persaudaraan antarwarga negara," kata Rocky mengambil kilas balik.
Namun, ia juga tampak memberi imbauan agar tidak menghilangkan catatan sejarah.
"Tetapi sejarah itu tidak mungkin kita hilangkan. Kan itu jalan pikirannya kan? Kalau kita mau hilangkan sejarah itu, semakin dihilangkan dia semakin membekas pada bangsa ini. Jadi biar aja kita hidup dengan segala macam imajinasi itu." pungkas Rocky.
Sementara itu, ia mengungkapkan kini terdapat 30 negara yang mengalami social unrest atau raises.
30 negara tersebut masing-masing mempunyai peristiwa khas tentang ketidakadilan sosial.
Baik dari segi kesehatan maupun pendidikan.
Seluruh problem di 30 negara itu hari ini pun ada di Indonesia.
Maka dari hal itu, menurut Rocky kekacauan pun bisa terjadi setiap waktu.
"Jadi kalau dikatakan NKRI harga mati, itu keinginan kita. Padahal di depan mata kita kekacauan bisa terjadi setiap saat itu," kata Rocky.
Berkaitan dengan kekacau balauan tersebut, Rocky menyatakan tidak percaya adanya pernyataan paparan radikalisme yang sudah menyebar ke berbagai aspek di Indonesia.
"Kalau negara bilang '30 persen ASN terpapar radikalisme, anak SMP, segala macem', saya tidak percaya. Karena
nggak ada data statistik pun yang bisa dipercaya dari negara hari ini," Rocky menegaskan.
Bagi Rocky, tidak semestinya Indonesia saling mempermasalahkan soal ideologi sedangkan kini sedang disorot dalam segala sudut keburukan dari raises. (*)
(Tribunnews.com/Nidaul 'Urwatul Wutsqa)