CSIS Nilai Tak Ada Urgensi Menghidupkan Kembali GBHN
Peneliti CSIS Edbert Gani menilai tak ada urgensi menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam wacana amandemen UUD 1945.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti CSIS Edbert Gani menilai tak ada urgensi menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam wacana amandemen UUD 1945.
Menurutnya, GBHN menunjukkan inkonsistensi sistem presidensial yang diterapkan Indonesia.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi bertajuk 'Review Politik Akhir Tahun: Ancaman Pilkada Tidak Langsung, Amandemen Konstitusi dan Kembalinya Oligarki?', di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, Minggu (8/12/2019).
"Terkait isu GBHN kami memiliki pandangan pertama kali menjadikan MPR lembaga tertinggi negara lagi. Itu tidak konsisiten dengan sistem presidensial yang kita pilih," ujarnya.
Gani mengatakan ada dua argumen yang membuat GBHN tidak urgen.
Yang pertama, katanya, kebutuhan rencana panjang dan menengah telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Baca: Video Detik-detik Puteri Indonesia Terpeleset di Panggung Miss Universe 2019,Wakil Malaysia Terjatuh
Baca: Misteri Jasad Balita Tanpa Kepala, Kaos Bergambar Tugu Monas Mirip Pakaian Terakhir Yusuf
Yang kedua, lanjut Gani, adanya GBHN mereduksi inovasi dari seorang presiden.
Sebab, pembangunan telah didesain dan ditetapkan dalam GBHN.
"Apabila ada GBHN mengakibatkan untuk mereduksi insentif presiden melakukan inovasi," ujarnya.
Diketahui, rekomendasi MPR periode 2014-2019 adalah untuk dilakukan amandemen terbatas UUD 1945 pada sisi menghidupkan kembali GBHN.