Fadli Zon Sebut Wacana Masa Jabatan Presiden 3 Periode Itu Berbahaya dan akan Menimbulkan Oligarki
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan, wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode merupakan wacana yang berbahaya.
Penulis: Nuryanti
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan, wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode merupakan wacana yang berbahaya.
Menurutnya, wacana penambahan masa jabatan tersebut akan menimbulkan oligarki.
"Wacana seperti ini adalah wacana yang berbahaya, itu akan menimbulkan oligarki," Fadli Zon, dikutip dari YouTube Kompas TV, Senin (9/12/2019).
Pengertian oligarki menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
"Bahkan menurut saya, itu bisa membuka kotak pandora itu mengenai dasar negara," katanya.
"Kemudian bentuk negara apakah negara kesatuan, atau federasi," lanjut Fadli Zon.
Ia kemudian melanjutkan, semua warga negara Indonesia selalu menginginkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Tentu kita ingin NKRI selama-lamanya," ungkapnya.
Sehingga ia mengharapkan, jangan menggunakan keinginan kekuasaan untuk mengusulkan penambahan masa jabatan presiden.
Menurut Fadli, masa jabatan presiden menjadi tiga periode, juga belum tentu memberikan manfaat bagi masyarakat.
"Jangan karena nafsu dan hasrat kekuasaan, yang belum tentu juga itu membawa manfaat bagi rakyat," katanya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasdem, Zulfan Lindan mengaku tidak masalah jika masa jabatan Presiden Jokowi menjadi tiga periode.
Saat ini Presiden Jokowi sudah berada di periodenya yang kedua, sehingga timbul usulan untuk menambah satu periode berikutnya.
Namun, Zulfan mengatakan Partai Nasdem tetap akan melakukan konvensi.
"Kalau tiga periode, saya kira tidak ada masalah, tetapi kita tetap akan melakukan konvensi," ujar Zulfan Lindan.
"Nasdem tetap akan melakukan konvensi," tegas Zulfan.
Ditanya mengenai jabatan presiden yang jika dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bukan lagi oleh rakyat, Zulfan berujar amandemen Undang-Undang Dasar 1945 bertentangan dengan Pancasila.
"Sebenarnya amandemen yang kita gunakan bertentangan dengan Pancasila," katanya.
Ia merujuk pada sila keempat Pancasila yang berbunyi, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan, dalam permusyawaratan/perwakilan".
Menurut Zulfan, sila keempat Pancasila tersebut sudah mengatakan pemilihan presiden dilakukan oleh permusyawaratan atau perwakilan rakyat yaitu MPR.
"Sila keempat kan jelas ada permusyawaratan rakyat," ujarnya.
Mengenai masa jabatan presiden itu, dan mengenai amandemen UUD 1945 itu, Zulfan mengatakan, saat ini tengah dibahas oleh Partai Nasdem.
"Sampai saat ini Nasdem sedang membahas itu," ungkapnya.
Sufmi Dasco Ahmad menilai masa jabatan presiden yang sebelumnya yaitu lima tahun ditambah satu periode berikutnya itu lebih tepat.
"Kalau kita lihatkan, masa jabatan presiden dua kali cukup," ujarnya, dikutip dari YouTube Kompas TV, Jumat (22/11/2019).
Dirinya menilai bahwa nantinya jika wacana tersebut dibahas, akan memakan waktu yang sulit.
"Saya pikir itu hanya wacana saja, wacana boleh, tapi kalau nantinya akan dibahas, saya pikir sangat panjang dan berliku," ungkapnya.
Dasco menyatakan, gerindra akan memilih tidak ikut membahasnya.
"Tentunya gerindra tidak akan berperan serta aktif membahas itu," jelas dia.
Ia menilai cukup untuk mendukung amandemen, namun dirinya mengaku tidak setuju jika menyangkut masa jabatan presiden.
"Kalau amandemen terbatas kita dukung, tetapi kemudian kalau soal masa jabatan presiden walau di partai kami belum pernah ada pembicaraan, tapi secara pribadi saya pikir itu tidak perlu dibahas," tambah Dasco.
Menurutnya, wacana penambahan masa jabatan presiden tersebut perlu adanya sosialisasi lebih lanjut kepada masyarakat.
Selain itu, menurutnya para perwakilan partai di DPR juga mayoritas tidak menyetujui wacana tersebut.
"Tingkatan kesulitan saya pikir juga sangat tinggi, satu, perlu sosialisasi, kedua, partai-partai politik yang ada di parlemen saya pikir mayoritas belum setuju," lanjut dia.
(Tribunnews.com/Nuryanti)