Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ternyata, Ini Penggagas Bahasa Indonesia yang Kita Gunakan Sehari-hari Hingga Kini

Sebagian besar orang mungkin belum tahu siapa tokoh di balik penggagas Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, yang hingga kini digunakan oleh kita

Editor: Content Writer
zoom-in Ternyata, Ini Penggagas Bahasa Indonesia yang Kita Gunakan Sehari-hari Hingga Kini
Shutterstock
Ilustrasi bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. 

TRIBUNNEWS.COM - Sebagian besar orang mungkin belum tahu siapa tokoh di balik penggagas Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, yang hingga kini digunakan oleh kita dalam aktivitas dan pergaulan sehari-hari.

Melansir artikel Badan Bahasa yang ditulis oleh Maryanto, Bahasa Indonesia lahir melewati diskursus dalam bentuk kongres antar tokoh-tokoh besar Indonesia, seperti Mohammad Yamin hingga Sanusi Pane. Namun, penggagas awal Bahasa Indonesia yang tak banyak orang tahu adalah M. Tabrani.

Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah mengusulkan gelar kepahlawanan nasional kepada M. Tabrani atas jasanya melahirkan gagasan Bahasa Indonesia yang kita kenal saat ini.

Berikut artikel yang diterbitkan oleh situs resmi Badan Bahasa, yang ditulis dengan singkat namun bernas oleh Maryanto:

-----

Juli 1925 merupakan salah satu bulan penting untuk dikenang. Pada bulan itu, M. Tabrani—yang terlahir di Pamekasan (Madura) tanggal 10 Oktober 1904 dengan nama lengkap Mohammad Tabrani Soerjowitjitro—mulai bekerja pada harian Hindia Baru. Dalam kolom Kepentingan yang ia asuh di lembaga pers itu, pada tanggal 10 Januari 1926, dimuatlah tulisan dengan judul "Kasihan". Tulisan itu muncul sebagai gagasan awal untuk menggunakan nama bahasa Indonesia.

M. Tabrani menyebut bahasa Indonesia sebagai bahasa yang oleh kita pada masa ini dianggapnya bahasa yang dipakai sebagai bahasa pergaulan oleh bangsa kita kebanyakan. Konsep kebangsaan yang muncul dari gagasan M. Tabrani tersebut merujuk pada kondisi nyata keberagaman manusia (orang-orang Indie) yang masih bersifat kedaerahan/kesukuan dan masih mengutamakan kepentingan suku atau pun daerahnya masing-masing sebagaimana terbentuknya organisasi-organisasi pemuda pada masa itu.

Berita Rekomendasi

“Bahasa Indonesia tidak ada; Tabrani tukang ngelamun.” Demikian petikan dari ucapan Mohammad Yamin yang dicatat dalam karya tulis Sebuah Otobiografi M. Tabrani: Anak Nakal Banyak Akal (halaman 42).

Dalam tulisan itu, Yamin disebutkan sedang “naik pitam” karena Tabrani menyetujui seluruh pidato Yamin, tetapi menolak konsep usul resolusinya pada  Kongres Pemuda Pertama 1926 (butir ketiga: menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melayu). Pada kesempatan itu, M. Tabrani bertindak sebagai Ketua Kongres dan berpandangan sebagai berikut. “Alasanmu, Yamin, betul dan kuat. Maklum lebih paham tentang bahasa daripada saya. Namun, saya tetap pada pendirian. Nama bahasa persatuan hendaknya bukan bahasa Melayu, tetapi bahasa Indonesia. Kalau belum ada harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia Pertama ini.”

Baca: Majukan Bahasa dan Sastra Indonesia, Ini Produk Literasi yang Dirilis Kemendikbud

Atas perbedaan pendapat antara Yamin dan Tabrani tersebut, kebijaksanaan yang diambil adalah keputusan terakhir itu ditunda sampai dengan Kongres Pemuda Indonesia Kedua pada tahun 1928. Pesan Kongres Pemuda Pertama dititipkan kepada M. Yamin dengan catatan penting bahwa nama bahasa Melayu diganti menjadi bahasa Indonesia.

Terbukti, bahwa Yamin selaku penulis dalam Kongres Pemuda Kedua menunaikan tugasnya dengan baik. Kongres Pemuda Kedua (Sugondo Joyopuspito sebagai Ketua Kongres) tidak membicarakan usul Yamin tersebut dalam rapat panitia, tetapi langsung membawanya dalam sidang umum dan Kongres menerima usulan Yamin dengan suara bulat. “Kebulatan Tekad Pemuda” (dalam istilah Sanusi Pane atau “Ikrar Pemuda” dalam konsep Yamin) dikenal hingga sekarang sebagai Sumpah Pemuda.

Repro: Foto memperlihatkan suasana Kongres Pemuda II di Batavia pada 1928.
Repro: Foto memperlihatkan suasana Kongres Pemuda II di Batavia pada 1928.

“Lamunan Tabrani yang tak sia-sia” baru-baru ini dituliskan oleh Priantono Oemar pada harian Republika (edisi Jumat, 12 Juli 2019). Melalui tulisan seperti itu, ingatan kolektif kita segar kembali akan sepak terjang M. Tabrani untuk menggelorakan gerakan kebangsaan menuju Indonesia merdeka.

“Bangsa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bangsa Indonesia itu! Bahasa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bahasa Indonesia itu!” Demikianlah gelora Tabrani sebagaimana ia tuliskan sendiri dalam koran Hindia Baru (edisi 11 Februari 1926) pada kolom Kepentingan yang dengan penuh keberanian diberikan judul “Bahasa Indonesia”.

Penerbitan bahasa Indonesia itu disebutkan bertujuan agar pergerakan persatuan anak-Indonesia akan bertambah keras dan cepat. Jika kita membuatnya bahasa itu bahasa Melayu, salahlah kita. Karena sebutan semacam itu seolah-olah dan mesti mengandung sifat (pikiran dan tindakan) imperialisme dari bahasa Melayu terhadap (kepada) lain-lainnya atas bahasa pada bangsa kita di sini.

Baca: Mengenal Lebih Jauh KBBI, Dari Sejarah Sampai Proses Masuknya Sebuah Kata

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas