Laode M Syarif: Seharusnya yang Direvisi Undang-Undang Tipikor, Bukan Undang-Undang KPK
Laode M Syarif mengatakan sejatinya yang direvisi adalah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bukan Undang-Undang KPK.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengatakan sejatinya yang direvisi adalah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bukan Undang-Undang KPK.
Alasannya menurut dia, UU Tipikor saat ini tidak membuat jera para koruptor.
Dalam UU Tipikor, hukuman denda yang dijerat kepada para koruptor maksimal Rp 1 miliar.
Menurut dia, denda tersebut sangat kecil bagi para koruptor.
Baca: Lewat Undang-Undang Baru KPK, Firli Cs Diminta Tancap Gas Benahi Internal KPK
"Kalau Rp 1 miliar untuk perusahaan besar, ya kacang (kecil) itu. Jadi kalau mau benar, hukuman badan maksimum 10 tahun misalnya, tetapi dendanya Rp 100 miliar. Itu lebih pas," kata Syarif di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2019).
Syarif membeberkan beberapa kasus yang ditangani lembaga antirasuah.
Menurutnya, dari beberapa pengadaan dan proyek pemerintah yang dilaksanakan perusahaan baik swasta maupun BUMN, aliran dana yang menjadi bancakan mencapai 25 persen.
Baca: PKS: Pak Jokowi Itu Keliru, Hukuman Mati Tak Bisa Berdasar Kehendak Rakyat, Tapi UU Tipikor
"Selama saya di KPK, memang khususnya yang sering saya lihat khususnya yang tertangkap tangan, kami melihat catatan itu 10 sampai 15 persen (uang dikorupsi)."
"Kami pernah melihat sampai 25 persen, untuk internal pemerintah 10 persen, mengamankan aparat penegak hukum 10 persen, untuk mengamankan auditor 5 persen, jadi tinggal 75 persen yang dipakai untuk membangun," kata Syarif.
Syarif kemudian kembali membahas soal revisi UU KPK.
Baca: Mahfud MD Sebut Akan Ada Kejutan Terkait Nama-nama Dewan Pengawas KPK
Terhambatnya investasi di Indonesia menjadi salah satu alasan pemerintah dan DPR merevisi UU nomor 30 tahun 2002.
Menurut Syarif, alasan tersebut tak masuk akal.
"Apa yang mennghalangi investasi di Indonesia? Ya nomor satu itu korupsi. Mengapa mereka (investor) tidak mau datang ke Indonesia? makanya men-dismantle anti-corruption agency seperti KPK itu tidak sesuai dengan logika sebenarnya," kata Syarif.