Mantan Napi Wajib Tunggu 5 Tahun Sebelum Ikut Pilkada
Dengan adanya putusan ini, maka syarat calon kepala daerah yang tertera pada Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada berubah bunyinya.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 56/PUU-XVII/2019 menyatakan seorang mantan narapidana harus menunggu lima tahun setelah melewati masa pidana penjara dan mengumumkan mengenai latar belakang dirinya jika ingin mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati atau walikota.
Dalam amar putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman, Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan adanya putusan ini, maka syarat calon kepala daerah yang tertera pada Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada berubah bunyinya.
Syarat pertama adalah calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana yang diancam lima tahun atau lebih kecuali terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik.
Tindak pidana politik tersebut dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
Kedua, bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.
"Tiga. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Ruang Sidang Utama Mahkamah Konstitusi Jakarta Pusat pada Rabu (11/12/2019).
Terkait lamanya masa tunggu lima tahun, Mahkamah tetap berpegang pada pertimbangan hukum Nomor 4/PUU-VII/2009.
Mahkamah berpendapat masa tunggu haruslah diberlakukan kembali terhadap mantan narapidana yang akan mengajukan diri sebagai calon kepala daerah.
Mengenai lamanya tenggat waktu, Mahkamah juga tetap konsisten merujuk pada pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009.
Putusan tersebut pada pokoknya menyatakan bagi calon kepala daerah yang telah selesai menjalani masa pidana diharuskan menunggu waktu selama lima tahun untuk dapat mengajukan diri menjadi calon kepala daerah.
Hal tersebut berlaku kecuali terhadap calon kepala daerah yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
Merujuk Putusan Nomor 4/PUUVII/2009, Mahkamah berpendapat dipilihnya jangka waktu lima tahun adalah untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme lima tahunan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, baik Pemilu Anggota Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Pendapat Mahkamah tersebut menegaskan Mahkamah tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang memohon masa tunggu sepuluh tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sebelumnya Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang tersebut pada 5 September 2019 .
Dalam permohonannya, ICW dan Perludem mengatakan Undang-Undang tersebut sepanjang frasa "tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena sejumlah alasan.
Pada pokoknya, sejumlah alasan tersebut terkait dengan problem demokrasi dan kontestasi politik misalnya praktik politik uang.
Kedua untuk memastikan integritas dan kualitas orang-orang yang akan menduduki jabatan sebagai kepala daerah.
Ketiga dalam situasi tertentu negara terpaksa melakukan pembatasan-pembatasan tertentu agar hak-hak asasi yang berada di bawah jaminannya dapat dilindungi, dihormati, dan dipenuhi.
Keempat masa tunggu sebelum dapat mengikuti kontestasi pilkada setidaknya dapat meminimalisasi potensi berulangnya perilaku korup, membenahi pencalonan kepala daerah dan pilkada, dan secara tidak langsung turut mencegah setiap orang, khususnya yang berkehendak mengikuti pilkada melakukan korupsi, dengan catatan, masa tunggu tersebut tidak terlampau singkat.