Dicecar Penyidik KPK, Wagub Maluku Bantah Terima Aliran Dana Suap Hong Arta
KPK mendalami aliran dana dari Direktur dan Komisaris PT Sharleen Raya (JECO Group) Hong Arta John Alfred
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi mendalami aliran dana dari Direktur dan Komisaris PT Sharleen Raya (JECO Group) Hong Arta John Alfred yang menjadi tersangka suap proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) kepada penyelenggara negara di Maluku.
Pendalaman ini dilakukan tim penyidik dengan memeriksa Wakil Gubernur Maluku Barnabas Nathaniel Orno, Rabu (18/12/2019). Barnabas Orno diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan Bupati Maluku Barat Daya.
Diketahui, Hong Arta John Alfred ditetapkan sebagai tersangka lantaran diduga bersama pengusaha lain menyuap anggota DPR dan pejabat Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara agar dapat menggarap proyek pembangunan jalan dan jembatan. KPK menduga Hong Arta juga menyuap sejumlah penyelenggara lain di Maluku.
"Penyidik mengembangkan penyidikan dari fakta yang ditemui pada pemeriksaan pemberi suap, selain memberi kepada anggota DPR diduga juga memberi kepada beberapa penyelenggara negara termasuk beberapa penyelenggara negara di Maluku," kata Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (18/12/2019) malam.
Seusai diperiksa tim penyidik, kepada awak media, Barnabas mengaku dicecar tim penyidik mengenai aliran dana dari Hong Arta. Namun, Barnabas Orno mengklaim tak menerima dari Hong Arta.
"Iya ditanya (soal uang) tapi saya bilang tidak ada," katanya.
Barnabas Orno mengaku mengenal Hong Arta sebagai salah satu pengusaha yang mengerjakan proyek. Namun, Barnabas menyebut proyek yang dikerjakan Hong Arta merupakan proyek BPJN.
"Kenal dengannya, ada kaitan dengan pekerjaan itu, proyek di Kementerian PUPR," katanya.
Hong Arta telah ditetapkan sebagai tersangka pada 2 Juli 2018 lalu. Ia merupakan tersangka ke-12 dalam kasus di Kementerian PUPR tersebut.
Ia memberikan suap kepada Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran Hi Mustary senilai Rp10,6 miliar dan juga memberikan suap kepada mantan anggota DPR RI 2014-2019 dari Fraksi PDIP Damayanti Wisnu Putranti sebesar Rp1 miliar.
Dalam kasus itu, Amran telah divonis 6 tahun penjara dan denda Rp800 juta subsider 4 bulan kurungan karena menerima Rp2,6 miliar, Rp15,525 miliar, dan 202.816 dolar Singapura.
Selain itu, Damayanti juga telah divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menerima 278.700 dolar Singapura dan Rp1 miliar.