Tasya Farasya Ingatkan Bahaya Skincare Palsu, Bagaimana Hukum Memandang Endorsement? Ini Jawabannya
Tasya Farasya Ingatkan Bahaya Skincare Palsu, Bagaimana Hukum Memandang Endorsement? Ini Jawabannya
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Miftah
TRIBUNNEWS.COM - Belum lama ini, Beauty Vlogger Tasya Farasya menyampaikan keresahannya terkait adanya beberapa selebgram yang masih mempromosikan produk-produk kecantikan berharga miring dan tidak terjamin keamanannya bagi konsumen.
Tasya pun meminta para selebgram tersebut untuk merenungkan kembali apabila produk yang mereka promosikan dapat membahayakan kesehatan orang lain.
Hal itu Tasya sampaikan melalui unggahannya di Instagram dalam sebuah fitur Insta Story, pada Rabu (18/12/2019).
Satu di antaranya, Tasya mengingatkan soal bahaya skincare palsu yang dijual dengan harga murah.
Baca: 10 YouTuber Punya Bayaran Tertinggi di Tahun 2019, PewDiePie Kalah dari Bocah 8 Tahun
"Lo tau ga skincare pemutih yang lo bilang 'rahasia kulit cantik' lo itu (padahal lo ke klinik kecantikan mahal dan terpercaya yang bisa lo dapetin dari endorse juga) bisa merusak kulit orang yang beli seumur hidupnya, bisa membuat orang yang merasa tidak percaya diri sama kulitnya itu malah tambah terpuruk dalam kehancuran," tulis Tasya melalui Instagram pribadinya, @tasyafarasya.
Pernyataan Tasya tersebut mendapat banyak respon positif dari warganet, namun adapula yang memiliki pandangan berbeda hingga menghujat Beauty Vlogger tersebut.
Bahkan, seperti yang Tasya bagikan dalam unggahan Instagramnya, ada yang menyebut-nyebut dirinya membuat banyak orang kehilangan pekerjaan lantaran pernyataan yang Tasya sampaikan Rabu lalu.
Terlepas dari kabar di atas, bagaimana sebetulnya hukum di Indonesia memandang aktivitas endorsement?
Kegiatan endorsement memang sekarang ini banyak terjadi.
Ini dapat dilihat dari deretan selebgram yang dalam aktivitas bermedia sosialnya mambantu mempromosikan sebuah produk.
Kemudian bagaimana jika produk tersebut bisa merugikan para konsumen?
Baca: 6 Fakta Viralnya Foto Ojol yang Sedang Belajar, Kisah Dibalik Pengambilan Foto hingga Identitasnya
Pakar hukum pidana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Agus Riwanto aktivitas endorsement secara tidak langsung diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
"Prinsipnya di dalam UU ITE ini diatur sedemikian rupa, baik dari memiliki dan menggunakan hak, menyampaikan informasi dan sebagainya," kata Agus saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (20/12/2019).
Agus melanjutkan, tinggal melihat konteks dari endorsement itu sendiri, seperti dilihat dari materi promosi dari suatu produk.
"Dalam UU ITE informasi itu seperti hak milik"
"Jika materi promosi itu milik orang lain bahkan diperdagangkan. Tentu ini melanggar" kata Agus.
Selain dari sumber, UU ITE juga mengatur terkait kebenaran informasi dari materi endorsement.
Apakah materi endorsement berdasarkan kebenaran atau hanya rekasaya.
Hal ini diatur dalam Pasal 28:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik
Sedangkan hukumannya diatur dalam 45A:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000. 000.000,00 (satu miliar rupiah).
Baca: Ini 5 Fakta Raibnya Burung Kacer Seharga Mobil, dari Kronologi hingga Tanggapan Penghobi
Selain UU ITE, terkait dengan aktivitas jual beli juga diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam UU ini diatur secara detail membahas hak dan kewajiban yang dimiliki baik oleh pembeli atau pelaku usaha.
Berikut hak konsumen:
1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Baca: Kondisi Adian Napitupulu Membaik, Staf Pribadi Ungkap Ada Empat Dugaan Penyebab Bosnya Kolaps
Dilihat dari hak-hak di atas, jika konsumen membeli barang atau produk yang kondisinya tidak sesuai dengan kenyataan tentu pelaku usaha telah melakukan pelanggaran hak konsumen.
Pelaku usaha yang melakukan penipuan tentu bisa mendapat hukuman berupa sanksi administratif maupun sanksi pidana.
Agus mengatakan dalam masalah penegakan hukum, kedua UU ini bisa digunakan jika ada konsumen yang merasa dirugikan.
Tinggal melihat konteks kasus yang terjadi.
UU ITE akan digunakan untuk menilai kasus yang memiliki unsur-unsur yang diatur dalam UU ITE.
Begitu pula sebaliknya, UU Perlindungan Konsumen akan digunakan untuk menilai kasus yang memiliki unsur-unsur yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen.
"Itu tergantung dari aparat penegak hukum dalam melihat konteks kasus tesebut," tutupnya.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik bisa dilihat di sini
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen bisa dilihat di sini
(*)
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)