Ini Respon Istana Sikapi Larangan Perayaan Natal di Dharmasraya dan Sijunjung Sumatera Barat
Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia menyayangkan peristiwa pelarangan perayaan Natal di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia menyayangkan peristiwa pelarangan perayaan Natal di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat.
Ia mengatakan setiap orang berhak memperingati hari besar agamanya.
"Seperti ideologi Pancasila. Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Siapapun, berhak merayakan ibadahnya. Saya rasa saat ini kita juga masih bicarakan keputusan ini," kata Angkie di Hotel Ritz Carlton, SCBD, Jakarta, Minggu (22/12/2019) seperti dikutip dari artikel Kompas.com berjudul "Istana Tegaskan Setiap Warga Negara Berhak Rayakan Hari Besar Agamanya".
Saat ditanya langkah apa yang akan diambil pemerintah pusat, Angkie menjawab masih dibicarakan.
Namun, ia berharap pelarangan tersebut tak menghambat pelaksanaan ibadah Natal di sana sehingga suasana tetap kondusif.
"Ini kalau langkah ini mungkin bagian-bagian tertentu, khususnya ya. Saat ini dari pemerintah pun juga masih membicarakan. Tapi kita berusaha mungkin supaya pihak kristiani bisa menjalankan ibadah natal," ujar Angkie.
"Dengan adanya tidak boleh merayakan natal itu saya masih berharap natal itu tetap berjalan dan tetap berlangsung. Karena biar bagaimanapun kita membutuhkan persatuan Indonesia," lanjut dia.
Baca: Gereja Katedral Jakarta Mempercantik Diri Jelang Misa Natal 2019
Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Dharmasraya membantah telah melarang perayaan Natal di wilayah mereka.
Menurut Kabag Humas Pemkab Dharmasraya Budi Waluyon, Pemkab mengatur bahwa jika ada pelaksanaan ibadah yang sifatnya berjamaah atau mendatangkan jamaah dari tempat lain, maka harus dilakukan di tempat ibadah yang resmi dan memiliki izin dari pihak terkait.
Pemkab Dharmasraya menghargai kesepakatan antara tokoh masyarakat Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung dengan umat Kristiani yang berasal dari warga transmigrasi di Jorong Kampung Baru.
"Kedua belah pihak sepakat dengan tidak adanya larangan melakukan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing di rumah masing-masing," kata Budi yang dihubungi Kompas.com, Rabu (18/12/2029).
Jokowi Diminta Turun Tangan
Sementara itu, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Vox Point Indonesia meminta Presiden Joko Widodo untuk turun tangan menyelesaikan polemik perayaan Natal umat Katolik di Kabupaten Sijunjung dan Dharmasraya, Sumatera Barat.
Pasalnya perlakuan diskriminatif yang berujung pada sulitnya umat kristiani di dua wilayah tersebut merayakan Natal merupakan bukti nyata pelanggaran hak-hak dasar warga negara yang memiliki kebebasan menjalankan agama dan kepercayaannya di dalam negara berdasarkan Pancasila, UUD dan Bhineka Tunggal Ika.
"Setelah kami dalami semua informasi termasuk keputusan Pemda setempat yang memang menyatakan tidak ada pelarangan ibadah Natal namun itu kami anggap sangat diskriminatif dan karena itu Presiden Jokowi harus turun tangan langsung menyelesaikan polemik ini," kata Ketua Umum Vox Point Indonesia Yohanes Handoyo Budhisejati dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Minggu (22/12/2019).
Baca: Panglima TNI Tinjau Pengamanan Natal di Kupang dan Minta Prajurit Tetap Humanis
Menurut Handoyo, menjalankan ibadah Natal adalah hak dasar umat beragama Katolik dan Protestan yang harus dijamin oleh negara.
"Kehadiran negara itu kan untuk menjamin itu. Kalau ternyata negara justru cenderung lemah dan kompromistis pada kelompok tertentu maka pada akhirnya negara tidak hadir menjamin kebebasan beragama warganya. Ini tidak bisa kita biarkan," tegas Handoyo.
Keputusan Pemda setempat yang hanya membolehkan perayaan Natal di rumah masing-masing atau jika dilakukan bersama-sama hanya diperbolehkan di tempat ibadah resmi dan itu di luar daerah setempat merupakan keputusan diskriminatif.
"Kalau mau dirunut kira-kira logikanya begini. Boleh ibadah tapi harus di tempat ibadah resmi. Tapi selama ini apakah pemda memfasilitasi supaya umat di sana boleh mendirikan Gereja? Apakah warga kasih izin? Lalu ini artinya apa? Ya selamanya umat di sana tidak akan bisa merayakan natal. Jadi kalau kompromi ini yang dijalankan maka sama saja melarang umat merayakan Natal," tukas Handoyo.
Sekretaris Jenderal Vox Point Indonesia Ervanus Ridwan Tou menambahkan pembatasan ibadah agama mana pun merupakan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya kebebasan beragama dan beribadah, yang melanggar pasal 1 ayat 6 Undang-Undang 39 tahun1999 tentang hak asasi manusia.
Bukan hanya itu peristiwa ini juga melanggar Konstitusi pasal 28 E ayat (1), yang menyatakan:
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali."
Ervan menegaskan sudah selayaknya pemerintah melindungi dan memfasilitasi warga negara yang memiliki hak konstitusional merayakan hari raya besar, sebagaimana dilindungi pasal 29 ayat (2).
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.