Pernyataan Sikap DPP GAMKI Terkait Pelarangan Ibadah Natal di Dharmasraya dan Sijunjung
Sahat juga mengajak segenap masyarakat Indonesia, terkhusus umat Kristen untuk tidak terprovokasi dengan persoalan di Sumatera Barat.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Baru-baru ini ramai pemberitaan pelarangan ibadah Natal terhadap umat Kristen di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat.
DPP Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) sudah mengkonfirmasi keabsahan informasi ini langsung dari salah satu jemaat Gereja di kabupaten tersebut dan dibenarkan juga oleh Sudarto, aktivis dari lembaga Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA), Padang yang mengadvokasi persoalan ini.
Sudarto juga diundang GAMKI Jumat (20/12/2019) lalu dalam Refleksi Akhir Tahun DPP GAMKI di Salemba, Jakarta.
Keduanya membenarkan bahwa pelarangan ibadah Natal, maupun pelarangan pembangunan rumah ibadah, dilakukan oleh pemerintah setempat didukung oleh ormas dan tokoh-tokoh masyarakat. Bahkan pelarangan ini terjadi sejak beberapa tahun yang lalu.
Pernyataan ini disampaikan Ketua Umum DPP GAMKI, Willem Wandik melalui siaran pers pada Senin (23/12/2019) menyikapi persoalan pelarangan ibadah Natal di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat.
Baca: Kunjungi Gereja di Malam Natal, Anies Pesan Pentingnya Jaga Persatuan
Willem Wandik juga merespon pernyataan Menteri Agama yang mengatakan adanya kesepakatan bersama untuk tidak melaksanakan ibadah Natal di luar rumah ibadah resmi. Pernyataan Menteri Agama ini berdasarkan informasi dari Kakanwil Agama setempat.
Menurut Wandik, Kementerian Agama itu sebutan nomenklatur Lembaga/Kementerian, yang mengurus urusan Semua Agama. Nomenklatur Kementerian Agama tidak menyebut secara "eksklusif" urusan Kemenag bagi "mono" agama, tetapi urusan Kemenag terhadap "poli" agama.
"Menteri Agama seharusnya bersikap adil, dengan memberikan ruang kebebasan melaksanakan ibadah kepada setiap umat beragama, di manapun mereka berada di Indonesia, tanpa perlakuan diskriminasi. Urusan ibadah merupakan wilayah keyakinan, termasuk Perayaan Ibadah Natal, yang dapat digolongkan sebagai urusan 'believe system', dalam keyakinan ajaran Injil/Alkitab," ujar Wandik.
Wandik mempertanyakan sikap Menteri Agama yang seakan-akan membenarkan terjadinya pelarangan Ibadah Natal karena adanya konsensus/kesepakatan bersama di tengah masyarakat dan pemerintah setempat.
"Apakah keyakinan agama Kristen dalam menjalankan Ibadah Natal, dalam pelaksanaannya dapat dikonsensuskan dengan pemeluk agama lain? Tentunya jawabannya tidak mungkin. Sebab, keyakinan tentang Ibadah Natal merupakan "Doktrin Agama" yang menjadi wilayah keyakinan umat Kristen/Katolik di manapun mereka berada. Sama halnya dengan agama lainnya seperti Islam, Hindu, dan Budha, apakah dalam pelaksanaan ibadah hari besar agama masing-masing agama tersebut, harus meminta izin atau harus ada kesepakatan dari umat Kristen?" tegas Wandik.
Wandik yang juga anggota DPR RI dari Dapil Papua ini khawatir, bahwa istilah "kesepakatan/konsensus" ini dibuat, dan dilegitimasi oleh Kemenag, hanya untuk sekedar memberikan justifikasi terhadap "masalah besar yang dialami oleh umat Kristen Sumatera Barat", yang mengalami diskriminasi terkait pelaksanaan Ibadah Natal di daerahnya masing masing.
"Sebagai Kementerian yang mengurus urusan semua agama, seharusnya, Menteri Agama, tidak boleh sekedar menjadi juru bicara bagi satu golongan mayoritas di Sumatera Barat, dengan menyebutkan "ini hasil kesepakatan".
Tetapi, lupa dengan kewajiban Kemenag yang harus melindungi setiap praktek ibadah dan keyakinan setiap umat beragama di Indonesia. Bagi kami, "kesepakatan" itu hanya berarti alasan pembenaran yang seharusnya tidak boleh terjadi di negara Pancasila," jelas Wandik.
Sekretaris Umum DPP GAMKI, Sahat Martin Philip Sinurat dalam kesempatan yang sama juga menyayangkan pernyataan Menteri Agama yang terkesan membenarkan tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat setempat di Sumatera Barat.