Refleksi 2019, Mardani Soroti Penyelenggaraan Pemilu 2019 dan Masalah Ekonomi
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyoroti penyelenggaraan Pemilu 2019 terutama mengenai partisipasi masyarakat dalam Pemilu
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA -- Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyoroti penyelenggaraan Pemilu 2019 terutama mengenai partisipasi masyarakat dalam Pemilu dalam refleksi akhir tahunnya.
Sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR RI menurut Mardani catatan mengenai partisipasi Pemilu sangatlah penting. Berdasarkan survei internal PKS sebanyak 85 persen penduduk Indonesia memperhatikan dinamika Pemilu 2019.
"Pemilu Presiden 2019 telah menyedot perhatian dan energi rakyat dan bangsa kita," kata Mardani kepada Tribunnews, Selasa, (31/12/2019).
Menurut Mardani angka partisipasi Pemilih mencapai 81 persen pada Pemilu 2019. Angka tersebut naik sebesar 10 persen dari Pemilu 2014. Hal itu menurutnya patus disyukuri.
"Satu hal yang patut kita syukuri adalah perhatian dan kesadaran politik rakyat semakin meningkat. Rakyat semakin sadar dan paham betapa pentingnya politik, kekuasaan, terutama perhelatan Pemilu sebagai event yang menentukan masa depan bangsa selama 5 tahun ke depan.
Baca: PKS Dorong Revisi UU untuk Perkuat Putusan MK Soal Larangan Mantan Koruptor Maju Pilkada
Baca: PKS Dorong Revisi UU Pilkada untuk Perkuat Putusan MK Soal Ketentuan Mantan Koruptor Ikut Pilkada
Baca: Bobby Nasution Maju Pilkada 2020, Mardani Ali Sera: Semua Berhak tapi Nepotisme adalah Kemunduran
Antusiasme masyarakat dalam menyambut dan mengikuti perhelatan Pemilu Presiden ini terlihat dari begitu banyaknya masyarakat yang hadir dalam setiap acara kampanye terbuka para calon Presiden dan Wakil Presiden, " katanya
Padahal menurut Mardani KPU hanya menargetkan partisipasi Pemilih pada angka 77,5 persen. Oleh karena itu peran penyelenggara Pemilu harus diapresiasi pada pesta demokrasi 5 tahunan tersebut.
Antusiasme masyarakat terhadap Pemilu menurut Mardani juga bisa dilihat di media sosial.Indikasinya adalah tingginya intesitas pembicaraan dan postingan masyarakat terkait Pemilu Presiden, terutama saat acara Debat Capres dan kampanye terbuka di GBK.
Indikasi lainnya yang saya lihat langsung adalah bertahannya tagar #2019GantiPresiden yang saya inisiasi sejak awal tahun 2018 hingga masa hari terakhir kampanye Pemilu 2019.
"Terbukti dari monitoring media sosial yang kami lakukan dulu, tagar #2019GantiPresiden pernah menjangkau lebih dari 150 juta reach dan juga diketahui oleh lebih dari 60% penduduk Indonesia yang memiliki hak pilih. Ini semua menunjukkan betapa tingginya perhatian dan antusiasme rakyat Indonesia terhadap Pemilu Presiden, "katanya.
Ia mengatakan, setelah melalui dinamika yang cukup panjang sejak awal tahun 2018, akhirnya Pemilu 2019 menghasilkan Pak Jokowi dan Kyai Ma’ruf sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024. Terlepas dari segala kekurangan dan permasalahan yang terjadi dalam proses Pemilu 2019 ini, terutama sangat besarnya korban jiwa yang terjadi selama proses pemungutan dan perhitungan suara di TPS (527 orang petugas KPPS meninggal dan 11.239 orang sakit), menurutnya kita sebagai bangsa Indonesia yang sejak tahun 1945 sudah berkomitmen dan berkonsensus untuk mendirikan dan menjalankan negara konstitusi, harus menghormati dan menerima segala proses politik yang berlandaskan konstitusi, salah satunya hasil Pemilu 2019 ini.
" Mari kita hormati dan terima hasilnya untuk 5 tahun ke depan, sambil terus mengawal jalannya pemerintahan Pak Jokowi dan Kyai Ma’ruf secara kritis konstruktif baik di Parlemen maupun dalam aspirasi rakyat di ruang publik," katanya.
Ke depannya, ia berharap tragedi banyaknya petugas KPPS yang meninggal dan sakit ini tidak boleh terulang lagi. Pemerintah dan KPU harus mengevaluasi total proses penyelenggaraan Pemilu dari awal hingga akhir, dan mencari cara dan metode terbaik agar tidak terjadi lagi korban jiwa terhadap petugas KPPS, serta terselenggaranya Pemilu yang jujur dan adil, yang dipercaya oleh seluruh rakyat Indonesia.
Ia menambahkan, Pemilu 2019 secara langsung maupun tidak langsung berdampak juga dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Pemilu Presiden yang hanya diikuti oleh dua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden selama dua periode Pemilu berturut-turut mengakibatkan terjadinya polarisasi dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia berdasarkan dukungan capres. Dalam hal dinamika politik ini bagus, namun dalam konteks sosial, para tokoh bangsa harus bisa mengawal dan mendidik masyarakat agar perbedaan pendapat dan afiliasi politik tidak boleh mengakibatkan perpecahan sosial masyarakat.
Para tokoh bangsa harus memberikan teladan bahwa perbedaan dan kompetisi politik harus tetap mengedepankan persaudaraan dan persatuan bangsa. Ikatan persaudaraan kebangsaan kita harus di atas perbedaan pandangan politik, seperti yang dulu pernah dicontohkan oleh para Bapak Pendiri Bangsa kita ketika bersatu memperjuangkan kemerdekaan dan merumuskan dasar konstitusi negara.
Perbedaan sebagai wujud keniscayaan Bhinneka Tinggal Ika harus mampu dikelola dan diarahkan ke dampak positif dan produktif bagi bangsa kita.
Perbedaan dan perdebatan yang ada harus melahirkan kompetisi dan sintesa terbaik bagi kerja-kerja produktif pembangunan bangsa. Di titik inilah perbedaan itu menjadi rahmat bagi bangsa Indonesia, bukan menjadi perpecahan dan konflik.
" Sekali lagi, ini tugas dan peran para Tokoh Bangsa untuk mengarahkan dan mengelola perbedaan yang ada di masyarakat dan bangsa kita menjadi hal yang produktif dan konstruktif," katanya.
Melalui dinamika Pemilu 2019 ini menurutnya, rakyat juga merasakan dan menyadari bahwa permasalahan utama bangsa yang dirasakan langsung masyarakat adalah masalah ekonomi. Survei internal PKS tahun 2019 mengkonfirmasi bahwa lebih dari 50% masyarakat merasakan bahwa masalah utama yang harus segera diselesaikan Pemerintah adalah masalah ekonomi (pengangguran, kemiskinan, harga kebutuhan pokok). Besarnya biaya penyelenggaran Pemilu, APBN, dan hutang negara kita belum mampu mewujudkan kesejahteraan dan menyelesaikan masalah ekonomi bangsa.
Kondisi ini harus menjadi evaluasi dan refleksi utama bagi Pemerintah, khususnya Jokowi selaku Presiden, bahwa kepemimpinan dan kekuasaan yang beliau miliki selama 5 tahun kemarin belum mampu memecahkan permasalahan ekonomi rakyat. Semakin naiknya harga kebutuhan pokok, listrik, BBM, BPJS, tarif tol, dan biaya hidup lainnya yang dirasakan langsung masyarakat adalah bukti nyata bahwa kinerja Pemerintah belum berhasil memperbaiki ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Belum lagi kalau kita melihat indikator ekonomi makro yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 5%, defisit neraca perdagangan yang sudah terjadi 5 kali dalam 12 bulan di tahun 2019, defisit APBN hingga November 2019 yang mencapai Rp 368 Trilyun, hutang negara yang terus bertambah tinggi (akhir November 2019 mencapai Rp. 4814,3 Trilyun), dan iklim investasi Indonesia yang dinilai oleh Bank Dunia masih berisiko, rumit, dan tidak kompetitif. Keseluruhan indikator ekonomi tersebut menunjukkan bahwa buruknya kinerja perekonomian Pemerintahan Pak Jokowi selama tahun 2019 ini.
Selain permasalahan ekonomi, permasalahan utama yang dirasakan langsung oleh masyarakat di tahun 2019 ini adalah masalah penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan korupsi. Pelemahan KPK, persekusi dan fitnah terhadap tokoh ulama dan tokoh bangsa, terancamnya kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, ketiadaan pembelaan Pemerintah terhadap etnis Uighur, potensi korupsi Jiwasraya, menjadi permasalahan utama yang terjadi di tahun 2019 ini. Hal ini terkonfirmasi juga oleh survei internal PKS yang menempatkan masalah penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan korupsi menjadi masalah berikutnya yang paling dirasakan dan diinginkan masyarakat untuk diselesaikan selain masalah ekonomi.
"Namun ironisnya, Pak Jokowi dalam pidato pelantikan beliau sebagai Presiden RI dalam masa jabatan keduanya tidak menyentuh dengan serius permasalahan penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan korupsi. Malah di akhir tahun ini Pak Jokowi mendukung pelemahan KPK melalui Revisi UU KPK dan juga terkuaknya potensi skandal korupsi Jiwasraya yang berpotensi merugikan masyarakat dan negara hingga belasan Trilyun lebih. Jauh lebih besar dari mega skandal korupsi Bank Century yang Rp. 6,7 Trilyun, " katanya.
Ia mengatakan refleksi dinamika politik, sosial, ekonomi, hukum, HAM selama tahun 2019 di atas menunjukkan bahwa kita sebagai bangsa Indonesia harus lebih bekerja keras dan bekerja cerdas lagi di tahun 2020 mendatang.
Untuk itulah refleksi Tahun 2019 sebaiknya dijadikan sebagai Tahun Kesadaran Kebangsaan dan Kemanusiaan untuk Masa Depan yang Lebih Baik, karena begitu banyaknya peristiwa dan dinamika yang membangkitkan kesadaran kebangsaan dan kemanusiaan kita selama tahun 2019 ini.
Segala kesalahan, permasalahan, dan kendala yang terjadi harus kita jadikan sebagai pembelajaran hidup yang mahal yang tidak boleh terulang lagi di tahun 2020 mendatang.
"Saya mengajak seluruh rakyat dan komponen bangsa untuk mengawal dan membangun bangsa ini secara kritis dan konstruktif bersama #KamiOposisi, agar kesalahan dan permasalahan yang lalu tidak terulang lagi. Karena bangsa ini milik kita bersama, mari kita jaga dan bangun bersama, " tuturnya.
"Selamat tinggal tahun 2019, engkau memberikan banyak kenangan dan pembelajaran. Dan selamat datang tahun 2020, semoga kita bisa lebih baik, lebih produktif, dan lebih berprestasi lagi selama setahun ke depan," pungkasnya.