Konflik Iran-AS Kian Memanas, Ini Dampaknya Bagi Indonesia
Amerika Serikat menewaskan komandan tinggi militer Iran Qasem Soleimani dalam serangan udara di Irak pada hari Jumat (03/01).
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jika konflik antara Iran dan Amerika Serikat meluas, Indonesia kemungkinan terimbas dampak ekonomi dan keamanan, termasuk terkait bangkitnya sel-sel tidur kelompok Negara Islam (ISIS) yang berada di Indonesia, menurut seorang pengamat.
Amerika Serikat menewaskan komandan tinggi militer Iran Qasem Soleimani dalam serangan udara di Irak pada hari Jumat (03/01/2020).
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan pembunuhan Soleiman "untuk menghentikan perang, bukan untuk memulainya".
Namun, pembunuhan Soleimani menandai eskalasi besar dalam ketegangan antara Washington dan Tehran.
Baca: BREAKING NEWS: Pesawat Berpenumpang 180 Orang Jatuh di Dekat Bandara Internasional Iran
Pakar Timur Tengah dari Universitas Padjajaran, Dina Sulaeman, mengatakan hubungan Indonesia dengan masing-masing AS dan Irak baik, sehingga dampak bilateral dalam konteks konflik ini tidak akan terpengaruh.
Namun, dampak yang mungkin dialami Indonesia adalah sebagai ekses, atau sampingan, jika konflik diantara dua negara itu terus mengalami eskalasi dan kemudian terjadi perpecahan perang.
Dalam hal ini, Dina menyebutkan bahwa jika perang terjadi, ekonomi dunia akan terguncang dan Indonesia akan kena imbasnya juga.
Hal ini, kata dia, terutama menyangkut ketersediaan minyak, mengingat ancaman Iran terkait penutupan sebuah selat di wilayahnya yang dilalui pengangkutan sekitar sepertiga minyak dunia.
"Iran itu kan doktrin militernya sebenarnya defensif, jadi tidak akan menyerang duluan. Kalau diserang, dia akan membalas. Salah satu yang sering disampaikan oleh militer Iran adalah kalau sampai ada serangan, dia akan menutup selat Hormuz.
"Kalau selat Hormuz ditutup, itu kan 30an persen minyak dunia itu lewat selat itu. Bisa dibayangkan yang terjadi itu adalah resesi global," jelas Dina kepada BBC News Indonesia.
Ia menambahkan bahwa selain ekonomi, ada juga kemungkinan berdampak pada sektor keamanan. Ia sebut bahwa konflik terbaru antar kedua negara yang sudah berlawanan ini, diawali dengan kematian seorang jenderal di Iran yang sangat aktif melawan ISIS di Suriah maupun di Irak.
"Kematiannya ini saya khawatir akan mendorong atau membangkitkan lagi semangat sel-sel tidur ISIS yang di Indonesia karena biar bagaimanapun, ketika salah satu musuh terbeesarnya sudah tidak ada lagi, itu akan memberikan semangat moral buat mereka. Ini yang saya khawatirkan dampak lainnya untuk Indonesia," ujar Dina.
Baca: Iran Bombardir Pangkalan Militer AS di Irak, Donald Trump Diserang Lawan Politiknya di Dalam Negeri
Sebelum kematiannya, Soleimani merupakan komandan militer pasukan Quds, yang merupakan kesatuan khusus Garda Revolusi Iran yang beroperasi di luar negeri dan dibentuk pascarevolusi Iran pada 1979 untuk mempertahankan negara.
Menurut Dina Sulaeman, AS dan Iran, walaupun merupakan lawan, keduanya adalah musuh ISIS. Namun, kedua negara itu memiliki strategi yang berbeda.
Dalam melawan ISIS sepanjang sekitar delapan tahun terakhir, Soleimani menjalin hubungan dengan pemerintah Irak dan Suriah untuk membentuk pasukan gabungan di luar tentara resmi.
Hal itu ia lakukan dengan izin pemerintahan kedua negara itu dan juga bekerjasama dengan tentara nasional Irak dan Suriah, jelas Dina.
Ia sebut bahwa tujuan milisi gabungan ini adalah melawan kelompok ISIS dan berbagai milisi yang berafiliasi dengan Al-Qaeda di Irak dan di Suriah.
"Oleh karena itu, pihak ISIS dan Al-Qaeda, terlihat dari berbagai pernyataan mereka, atau komentar-komentar mereka yang muncul di media sosial, baik juga di website kelompok-kelompok radikal ini, yang menganggap bahwa Soleimaini ini adalah musuh besar mereka," ujar Dina.
Ia menambahkan bahwa di Indonesia sendiri sebelumya ada warga maupun kelompok-kelompok radikal dan teroris yang terafiliasi dengan ISIS dan afiliasi Al-Qaeda di Irak dan Suriah.
"Sekarang ketika Soleimaini, atau tokoh yang dianggap musuh ini sudah tidak ada lagi, tentu logikanya, kelompok-kelompok ini punya semangat baru, artinya bangkit lagi untuk kembali berkonsolidasi, dan yang saya khawatirkan di Indonesia juga melakukan hal yang sama," jelas Dina.
Namun ia menjelaskan, kepentingan pemerintah Indonesia saat ini yang paling ditekankan adalah agar tidak terjadi perang Iran dan AS.
Pelaksana tugas juru bicara kementerian, Teuku Faizasyah, mengatakan bahwa Retno Marsudi - pada masing-masing pertemuan - menyampaikan pesan harapan Indonesia agar masing-masing pihak dapat menahan diri.
"Ibu Menteri Luar Negeri menyampaikan harapannya agar kedua pihak dapat melakukan de-eskalasi ketegangan di sana," jelas pelaksana tugas juru bicara Kemenlu Teuku.
"Kita tidak menyampaikan di luar harapan kita adanya de-eskalasi dan menggarisbawahi bahwa keteganggan dan eskalasi dari permasalahan yang ada antara Amerika Serikat dan Iran akan memiliki dampak yang luas, tidak hanya di negara-negara di kawasan tetapi juga pada negara-negara di dunia pada umumnya, termasuk gangguan terhadap perekonomian global."
Teuku juga mengatakan bahwa terkait konflik ini, pemerintah juga memiliki keperdulian khusus terhadap warga negara Indonesia yang berada di Iran, sehingga pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Teheran pun sudah mempersiapkan langkah-langkah mitigasi dan kontigensi untuk jika konflik meluas.
"Sekiranya konflik meledak atau meluas ya kita harus melakukan langkah-langkah penyelamatan warga negara kita," ujar Teuku.
Apa himbauan Kemenlu bagi WNI di Irak, Iran dan negara sekitar?
Dalam laman resminya, Rabu (08/01), Kemenlu Indonesia mengimbau WNI yang tinggal di Irak, Iran dan negara sekitarnya, agar "memperhatikan situasi politik dan keamanan" di wilayah-wilayah tersebut.
Mereka juga diimbau agar "terus meningkatkan kewaspadaan" dan "mengikuti informasi dan imbauan otoritas setempat, terutama terkait situasi keamanan".
Para WNI di negara-negara itu juga diminta "menjaga komunikasi dengan Perwakilan RI terdekat".
"Segera hubungi Perwakilan RI setempat/terdekat jika memerlukan informasi dan bantuan," demikian imbauan Kemenlu.
Untuk mengantisipasi kemungkinan eskalasi dan dampaknya terhadap WNI, Kemenlu telah menyiapkan kontijensi bersama perwakilan-perwakilan RI di wilayah tersebut.
"Kementerian Luar Negeri RI telah mengaktifkan kembali crisis centre dengan nomor +62 812-9007-0027," kata Kemenlu dalam rilisnya.
Dalam rilisnya, Kemenlu memberikan nomor hotline yang dapat dihubungi bagi WNI yang tinggal di Irak, Iran, dan negara sekitarnya:
KBRI Baghdad: +964 780 6610 920/+9647500365228
KBRI Tehran: +989120542167
KBRI Kuwait City:+965-9720 6060
KBRI Manama:+973-3879 1650
KBRI Doha:+974-33322875
KBRI Abu Dhabi:+971-566-156259
KBRI Amman: +962 7 7915 0407
KBRI Damascus: +963 954 444 810
KBRI Beirut: +961 5 924 676
KBRI Muscat: +968 9600 0210
KBRI Riyadh: +966 56 917 3990
KJRI Dubai: +971-56-3322611/+971-56-4170333
KJRI Jeddah: +966-50360 9667
Kesaksian dua orang warga Indonesia di Iran
Muslim Yudha, 67, seorang warga negara Indonesia yang sedang bekerja di sebuah perusahaan swasta di Teheran, mengatakan bahwa pihak KBRI memang sudah menghimbau masyarakat Indonesia di Iran agar waspada.
Ia juga mengikuti saran yang disampaikan setempat untuk menghindari keramaian.
Muslim menjelaskan bahwa banyak kantor-kantor setempat diliburkan pada hari Senin (06/01), termasuk tempat dimana ia bekerja, untuk memberi kesempatan pada publik untuk berduka.
"Semua masyarakat yang ada di Teheran ini, berbaju hitam-hitam, pergi melawat Jenderal yang meninggal itu. Jenazahnya itu dibawah dengan mobil, di semua jalanan di Teheran ini ramai sekali," ujar Muslim kepada BBC News Indonesia melalui sambungan telepon pada hari Selasa (07/01).
Ratusan ribu orang berkabung untuk Soleimani pada prosesi hari Senin di Teheran. Iran menetapkan hari berkabung nasional selama tiga hari sebelum pemakaman Soleimani di kota kelahirannya di Kerman, pada Selasa.
Sedangkan di kota Qom, Ramiez Ja'fary, 27, seorang warga negara Indonesia yang sedang menyelesaikan studi strata satu di sebuah universtias setempat, mengatakan bahwa fasilitas publik maupun instansi-instansi pemerintah di kota itu terus beroperasi secara normal.
"Kita sejauh ini, sebagai masyarakat Indonesia, tetap mengikuti himbauan dari KBRI, salah satunya adalah menghindari tempat-tempat keramaian, menhindari tempat-tempat yang berpotensi menjadi tempat-tempat konflik," kata Ramiez, yang juga merupakan anggota Himpunan Pelajar Indonesia di Qom.
Sementara itu, peniliti radikalisme dan terorisme dari Universitas Indonesia, Muhamad Syauqillah, menjelaskan konflik antara AS dan Iran memang belum menjadi perhatian besar publik di Indonesia, akibat permasalah dalam negeri yang sedang disorot, seperi bencana alam banjir yang melanda di Jakarta dan sekitarnya yang telah menewaskan puluhan korban.
Bahkan, dalam isu hubungan internasional, masyarakat juga saat ini sedang sibuk memerhatikan ketegangan yang sedang terjadi di perairan Natuna antara Indonesia dan China.
"Oleh karenanya publik masih adem. Jadi ada intensitas perhatian yang berbeda. Jadi intensitas perhatiannya lebih pada di regional dan internal Indonesia," jelas Muhamad.
Ia menambahkan bahwa di wilayah Timur Tengah yang mengambil sikap kuat juga terbatas, dimana salah satunya adalah Irak, yang berpihak pada Iran. Hal ini dikarenakan kepentingan masing-masing negara itu juga.