Naskah Akademik UU KPK Disinyalir Fiktif
"Kami menemukan fakta di halaman satu, dua naskah akademik 2019. Di halaman tiga sampai berikutnya menggunakan naskah akademik 2011."
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum pemohon permohonan pengujian formil atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menilai UU KPK hasil revisi kedua cacat formil.
Salah satu bentuk cacat formil itu karena naskah akademik yang merupakan prasyarat untuk menyusu rancangan peraturan perundang-undangan disinyalir fiktif.
Muhammad Isnur, salah satu kuasa hukum pemohon, mensinyalir naskah akademik di UU KPK hasil revisi kedua itu fiktif serta tidak memenuhi syarat perencanaan pembentukan undang-undang.
Hal ini disampaikan pada saat memberikan keterangan pada sidang perkara nomor 79/PUU-XVII/2019 di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Pada Rabu (8/1/2020) ini, sidang beragenda perbaikan permohonan.
"Di halaman 45, kami juga menemukan fakta pembentuk undang-undang menggunakan naskah akademik fiktif yang tidak memenuhi syarat perencanaan perubahan kedua UU KPK," kata Isnur.
"Kami menemukan fakta di halaman satu, dua naskah akademik 2019. Di halaman tiga sampai berikutnya menggunakan naskah akademik 2011."
Sementara itu, Violla Reininda, selaku kuasa hukum pemohon, mengungkap ada beberapa poin yang tidak disebutkan di naskah akademik tersebut.
Dia mencontohkan, tidak ada kajian KPK sebagai bagian rumpun kekuasaan eksekutif, tidak adanya kajian dewan pengawas KPK, penghapusan tim penasihat KPK, tidak adanya kajian pegawai KPK sebagai anggota aparatur sipil negara, dan usia minimal komisioner KPK.
"Sama sekali tidak ada pembahasan di naskah akademik. Padahal naskah akademik hal yang vital dan juga penting membuktikan pertanggungjawaban akademis di setiap penyusunan undang-undang," kata dia.
Selain itu, dia membeberkan di naskah akademik pembentuk undang-undang tidak sekalipun mencantumkan daftar pembentukan daftar komulatif terbuka berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian UU MD3 soal Hak Angket KPK.
Dia membandingkan UU Nomor 19 tahun 2019 dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Di perubahan UU Perkawinan, kata dia, disebutkan UU disahkan berdasarkan judicial order dari Mahkamah Konstitusi. Mengacu pada putusan perkara Nomor 22/PUU-XV/2017
"Sehingga, di sini terjadi satu inkonsistensi DPR dan pemerintah. Tidak hanya tiba-tiba masukkan UU dalam proglenas prioritas. Tetapi juga tidak bahas kajian tentang judicial order di naskah akademik," ujarnya.
Sehingga, dia menyimpulkan, ada kepentingan politik tertentu bersifat pragmatis sehingga perubahan UU KPK disahkan.
"Dan kepentingan ini tidak bisa dijustifikasi," tambahnya.
Untuk diketahui, sebanyak 13 orang pemohon mengajukan permohonan “Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Tiga pemohon diantaranya, yaitu Ketua dan Wakil Ketua KPK periode 2015-2019. Mereka yaitu Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif, dan Saut Situmorang.
Objek permohonan, yaitu Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perubahan Kedua UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).