Kapal China Masih di Natuna, Moeldoko: Jangan Samakan Laut dengan Darat
Moeldoko angkat bicara terkait kapal China yang masih berada di Perairan Natuna, Kepaluan Riau, ia menyebut jangan samakan jarak di laut dengan darat
Penulis: Isnaya Helmi Rahma
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko angkat bicara terkait kapal-kapal China yang masih berada di Perairan Natuna, Kepulauan Riau.
Moeldoko menyebut jangan samakan jarak di laut dengan di darat.
Pernyataan tersebut disampaikan Moeldoko dalam acara Mata Najwa Trans7 yang diunggah di kanal YouTube Najwa Shihab, Kamis (9/1/2020).
"Kita membayangkan di laut itu jangan seperti di darat," ujar Moeldoko.
"Di laut itu mengukur kecepatan kapal, bagaimana pergerakan mereka, ini harus dihitung. Jarak yang sekian jauh itu memerlukan waktu yang panjang," imbuhnya.
"Jadi kalau malam ini mereka (Kapal China) ada disana (Natuna) bisa saja itu jauhnya jarak coast guard kita dengan mereka. Ini juga menjadi pertimbangan praktis di lapangan," jelasnya.
Moeldoko juga menegaskan terdapat dua sisi yang harus dipertimbangkan dalam menangani masalah klaim China atas Natuna ini.
"Intinya bahwa pada satu sisi kita menjaga hubungan, tapi disisi lain juga tidak boleh mengganggu dalam arti memasuki ZEE," kata Moeldoko.
Kepala Staf Kepresidenan ini kemudian menjelaskan maksud dari mengganggu yang ia sampaikan.
"Menurut keyakinan kita bahwa kita tidak mengakui nine dash line, tapi dari pihak mereka (China) mengakui, nah disini kan ada upaya untuk mengganggu," imbuhnya.
Sehingga Moeldoko mengatakan saat ini pemerintah tengah mencari cara agar dapat menjalankan dua sisi tersebut dengan baik.
Dimana proses penanganannya tidak menuju kepada eskalatif.
"Tidak bisa langsung tabrak begitu saja, tidak bisa langsung di tenggelamkan," ujarnya.
"Ada cara-cara untuk itu," imbuhnya.
"Kalau bisa diselesaikan dengan cara baik kenapa tidak, tapi kalau memang tidak bisa apa boleh buat," tegas Moeldoko.
Senada dengan Moeldoko, Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid menuturkan bahwa sikap tegas terhadap klaim China atas perairan Indonesia tidak harus dengan cara seperti menenggelamkan kapal.
Mengingat untuk menangani masalah seperti ini juga harus melalui tahapan - tahapan.
"Saya setuju dengan Pak Moeldoko, karena memang harus ada tahapan," ujar Meutya.
Menurutnya tahapan yang telah dilakukan oleh Pemerintah dalam menangani kapal China sudah benar meski hingga saat ini kapal China belum hengkang dari perairan Natuna.
"Dan menurut saya langkah pemerintah harus diberikan apresiasi," imbuhnya.
"Karena sampai sekarang tahapannya jelas,"
Tahapan yang dimaksud yakni surat protes yang dikirimkan oleh Menlu kepada China serta penambahan kapal oleh TNI dan Bakamla.
4 sikap tegas pemerintah soal klaim China atas perairan Natuna
Dalam menyikapi masalah terkait klaim China atas perairan Natuna, Pemerintah sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo akan terus bersikap tegas dan tetap mengedepankan diplomasi damai.
Terdapat 4 sikap tegas pemerintah RI dalam menangani konflik perairan Natuna.
Pertama, telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal China di wilayah ZEE Indonesia.
Kedua, wilayah Indonesia United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982).
Ketiga China merupakan party dari UNCLOS 1982.
Oleh karena itu merupakan kewajiban bagi China untuk menghormati implementasi dari UNCLOS 1982.
Empat, Indonesia tidak akan pernah mengakui nine dash line atau klaim sepihak yang dilakukan oleh China , yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982. (*)
(Tribunnews.com/Isnaya Helmi Rahma)