TRIBUNNEWS.COM - Kerjaan atau Kekaisaran fiktif mendadak muncul menghebohkan publik belakangan ini.
Di antaranya yang hangat diperbincangkan masyarakat yakni Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, World Empire.
Banyak orang yang merasa tertipu dengan munculnya kerajaan ataupun kekaisaran yang mendadak muncul tersebut.
Bahkan beberapa petinggi kerajaan-kerajaan baru tersebut menyebut bahwa sistem pemerintahan dunia sebentar lagi akan kembali berakhir.
Tak hanya itu, Spiritualis Permadi saat berbicara di ILC TV One, Selasa (21/1/2020) menyebut keadaan tersebut sebagai pertanda jaman bahwa Indonesia akan menjadi kerajaan kembali.
"Munculnya raja-raja baru, keraton-keraton baru adalah suatu keadaan yang seharusnya ada."
"Ini pertanda jaman bahwa Indonesia akan mengalami perubahan menjadi kerajaan kembali," ujar Permadi.
Hal itu mendapat tanggapan dari Sejarawan Anhar Gonggong pada kesempatan forum yang sama.
Anhar Gonggong berkeyakinan bahwa bangsa Indonesia tidak akan berubah menjadi kerajaan.
Berdasar fakta yang ia pelajari, ia berkeyakinan Indonesia tidak akan hilang dan tidak akan kembali menjadi kerajaan.
"Faktanya Indonesia ada oleh karena ada etnik-etnik yang punya kerajaan lokal yang kemudian terdidik tercerahkan dan prosesnya itu terjadi menjadi Indonesia," kata Anhar saat berbicara di ILC TV One, Selasa (21/1/2020) malam.
Berdasar sebuah seminar penelitian yang ia hadiri, ada temuan yang bahwa identitas etnik dengan identitas ke-Indonesiaan itu tidaklah bertentangan.
"Yang mendirikan Indonesia itu etnik-etnik ini yang menjadikan Indonesia dalam suatu proses setelah ada pendidikan dan seterusnya sejak awal abda ke-20,"
Etnik yang dimaksud Anhar yakni adalah Raja, Pangeran serta para keluarga Kerajaan yang dulunya berkuasa di Indonesia.
Menurutnya, para raja dan juga pangeran kerajaan tersebutlah yang juga mendirikan Bangsa Indonesia dan karenanya pantas disebut pahlawan Nasional Indonesia.
"Jadi Indonesia ada oleh karena ada etnik yang dulu memiliki kerajaan-kerajaan lokal," terangnya.
"Kemudian setelah mereka berdialog, maka mereka sadar harus menciptakan sesuatu hal baru untuk melepaskan diripada lingkungan penjajahan yang memedihkan mereka, maka lahirlah ide membangsa itu,"lanjutnya.
Anhar menyebut para kerajaan-kerajaan tersebut memang telah hilang sejak era pembentukan demokrasi terpimpin di Indonesia pada era 1959.
"Tahun 1959 ketika proses pembentukan demokrasi terpimpin maka kemudian Swapraja dihilangkan," tutur Anhar.
Swapraja merupakan daerah yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakanpemerintahan sendiri dan mengatur rumah tangganya sendiri.
Dalam catatan sejarah seperti dicatat di situs dpr.go.id, pada tahun 1959 memang banyak daerah Swapraja yang telah berubah stastusnya dengan diubah menjadi daerah istimewa atau Swatantra biasa.
Namun demikian, menurutnya budaya kerajaan-kerajaan tersebut tidaklah hilang begitu saja dari masyarakat.
Sebab menurutnya masyarakat saat ini juga masih menjalankan tradisi -tradisi kerjaan tersebut.
"Tetapi hilangnya mereka, tidak dalam arti kata bahwa mereka hilang secara budaya, karena memang Indonesia tidak mungkin hilang juga."
"Tidak mungkin punya budaya tanpa tetap mengadakan budaya-budaya yang dilahirkan oelh kerajaan-kerajaan lokal ini," tandasnya.
Untuk kasus banyaknya muncul kerajaan-kerjaan yang diperbincangan publik belakngan ini, Anhar menyebut itu merupakan kenyataan masyarakat agraris.
"Ini adalah kenyataan masyarakat agraris, dalam arti bahwa ada sekelompok orang yang masih membayangakan pada saatnya akan ada ratu adil."
"Jadi ini proses pemikiran masyarakat agraris, jadi masih mengharapakan karena ada situasi sekarang yang ini lalu kemudian membayangkan pada saatnya akan ada ratu adil," jelas Anhar.
Hal itu bisa terjadi karena mungkin ada beberapa faktor yang mendorongnya, seperti persoalan faktor ekonomi.
(Tribunnews.com/Tio)