Mahfud MD Tegaskan Tidak Perlu Kerja Sama dengan Amerika Soal Natuna
Pemerintah Indonesia menolak tawaran kerja sama keamanan terkait sengketa perairan Natuna menyusul pelanggaran kapal China di ZEE Indonesia.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menolak tawaran kerja sama keamanan terkait sengketa perairan Natuna menyusul pelanggaran kapal China di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Hal itu disampaikan Mahfud MD dalam diskusi bertajuk "Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia" di Gedung PBNU, Jakarta, Sabtu (25/1/2020).
Mahfud MD menceritakan, tawaran kerja sama itu datang dari Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Joseph R Donovan Jr saat pertemuan di Kantor Kemenko Polhukam pada Jumat (24/1/2020).
Ia menolak tawaran tersebut untuk menghindari Indonesia terjebak dalam perang proksi atau proxy war antara AS dan China terkait sengketa perairan Natuna.
"Kepada saya, dia bertanya soal Laut Cina Selatan, apa yang bisa dikerjasamakan, dibantu. Saya bilang, tidak perlu kerja sama dengan Amerika soal urusan itu. Kalau kita kerja sama dengan Amerika, berarti kita perang dengan China, padahal kita tidak (perang dengan China)," ujar Mahfud.
Perang proksi merupakan perang antar dua negara yang terjadi akibat dorongan atau mewakili pihak lain yang tidak terlibat langsung dalam perselisihan.
Baca: Kakak Beradik Warga Negara China Suspect Corona Diperbolehkan Pulang dari RSUP Sanglah
Baca: Apa Penyebab Virus Corona dan Mengapa Sangat Mengerikan? Terbongkar Dugaan Kecerobohan China Ini
Diketahui, sejak Maret 2018, Amerika Serikat dan China terlibat perang dagang dengan saling balas mengeluarkan kebijakan pengenaan bea masuk tinggi untuk barang-barang ekspor negara lawannya.
Mahfud menegaskan, selain Indonesia, Malaysia, Filipina, Brunei dan Vietnam juga mempunyai perkara dengan China menyangkut perbatasan wilayah di Laut China Selatan.
Tetapi, Indonesia mengambil sikap posisi untuk tidak akan menempuh jalur negosiasi bilateral.
Sebab, Indonesia menganggap tidak pernah berperkara dan menganggap China tidak mempunyai punya hak di perairan ZEE.
"Kalau melakukan dagang, langsung usir saja," tandasnya.
Mahfud juga mengungkapkan, pihak Kedutaan Besar Tiongkok juga telah menemuinya setelah terjadi saling klaim di perairan Natuna.
Baca: Anak Pejabat Tarakan Kuliah di Hubei, Nasibnya Sempat Terlunta karena Wabah Virus Corona
Baca: Mahfud Sebut Jurnalis Mongabay Sudah Dibebaskan
Namun, ia menyampaikan kepada pihak Kedubes China bahwa Indonesia tidak akan bernegosiasi mengenai Laut Natuna. Sebab, wilayah Laut Natuna telah ditetapkan hukum internasional berada di ZEE Indonesia dan menjadi wilayah kedaulatan RI.
"Secara hukum internasional sudah menyatakan itu wilayah kami, dan akan kami pertahankan dengan segala cara, maka itu kita tidak berunding," ujarnya.
Pada awal Januari lalu, hubungan keamanan Indonesia dan China di perairan Natuna memanas.
Puluhan kapal nelayan dari China dikawal kapal penjaga pantai Negara Panda melakukan pencurian ikan di perairan Natuna, Kepulauan Riau.
Kapal-kapal itu menolak meninggalkan kawasan tersebut walaupun telah diperingatkan melalui komunikasi radio.
Pemerintah China pun bergeming saat pemerintah Indonesia mengirimkan nota protes dan pemberitahuan perihal perairan Natuna merupakan teritorial RI, sebagaimana hasil Konvensi PBB tentang hukum laut, yakni United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982.
Baca: Wabah Virus Corona: Warga Ibaratkan Suasana Wuhan seperti Kiamat, RS Kewalahan Layani Pasien
Baca: Kata Pakar Medis Ini, Virus Corona Bisa Menular Lewat Mata
Di sisi lain, pemerintah China berkeras mengklaim perairan Natuna berhak dimasuki oleh para nelayannya karena bagian dari Nine-Dash Line atau atau sembilan garis putus-putus China.
Sementara, pemerintah Indonesia tidak pernah mengakui Nine-Dash Line yang diklaim oleh China, karena tidak memiliki landasan hukum internasional.
Line Nine-Dash Line adalah wilayah Laut China Selatan seluas 2 juta km persegi yang 90 persennya diklaim oleh China sebagai hak maritim historisnya.
Melansir dari South China Morning Post (12/07/2016), jalur ini membentang sejauh 2.000 km dari daratan China hingga beberapa ratus kilometer dari Filipina, Malaysia, dan Vietnam. (tribun network/uma/coz)