Politikus PDIP: Menkominfo Harus Turun Tangan Atasi Kisruh TVRI, Jangan Pura-pura
Effendi Simbolon meminta Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate tidak diam diri melihat kisruh di internal TVRI
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan Effendi Simbolon meminta Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate tidak diam diri melihat kisruh internal di Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI.
Menurutnya, Menkominfo harus turun tangan untuk menjadi mediator antara dewan pengawas dan direksi TVRI yang sedang berkonflik.
"Tidak bisa Menkominfo mengumpulkan teman-teman dalam acara informal tapi tidak solutif, jangan berpura-pura gitu loh, akting, drama begitu," ujar Effendi Simbolon saat rapat dengar pendapat dengan direksi TVRI di ruang Komisi I DPR, Jakarta, Senin (27/1/2020).
Baca: Helmy Yahya Dipecat dari Dirut TVRI, DPR: TVRI adalah Aset Bangsa, Harus Dilakukan Audit
Ia menilai, Menkominfo perlu menghadirkan atau mempertemukan dewas dan direksi TVRI dengan cara prosedur yang benar.
"Kalau tingkat kejahatan direksi itu dianggap pidana, laporkan ke kepolisian, bukan serta merta kemudian dipecat," ucap Effendi.
"Tidak bisa Dewas semena-mena begitu. Kami punya insting politik, persoalan ini tidak sesederhana seperti ini," sambung Effendi.
Baca: Effendi Simbolon Duga Ada Pihak yang Sengaja Ingin Depak Helmy Yahya Dari TVRI
Diketahui, Helmy Yahya dipecat dari posisi Direktur Utama TVRI.
Helmy Yahya pun menerbitkan surat yang menyatakan bahwa Surat Keputusan Dewan Pengawas TVRI cacat hukum dan tidak berdasar.
Kisruh TVRI bermula ketika beredar SK Dewan Pengawas LPP TVRI Nomor 3 Tahun 2019 tertanggal 4 Desember 2019.
Baca: Respons Isyarat Jokowi, PDIP Sebut Sandiaga Belum Penuhi Kriteria Jadi Presiden: Kurang Mumpuni
Dalam SK itu, tertulis Helmy dinonaktifkan sementara dari kursi direktur utama TVRI.
Melalui SK tersebut, Dewan Pengawas juga menetapkan Supriyono yang sebelumnya menjabat Direktur Teknik LPP TVRI sebagai Pelaksana Tugas Harian (Plt) Dirut LPP TVRI.
Surat keputusan tersebut tidak mencantumkan alasan penonaktifan Helmy sebagai Dirut TVRI.
Direksi TVRI bingung
Direktur Program dan Berita TVRI Apni Jaya Putra mengaku bingung dengan keputusan Dewan Pengawas TVRI yang memberhentikan Helmy Yahya karena satu persoalnya yaitu penyiaran Liga Inggris.
Ia menjelaskan, pada Surat Pemberitahuan Rencana Pemberhentian (SPRP) Helmy dari Direktur Utama TVRI, tidak mempersoalkan penyiaran Liga Inggris pada televisi pemerintahan.
"Karena itu dalam surat pembelaan Dirut TVRI tidak disampaikan mengenai Liga Inggris. Tapi pada surat pemberhentian justru muncul soal Liga Inggris dengan kalimat saudara Helmy tidak menjawab atau memberi penjelasan soal pembelian program berbiaya besar antara lain Liga Inggris dan tertib anggaran," tutur Apni saat rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR, Jakarta, Senin (27/1/2020).
Baca: Fans Manchester United Siap Protes di Old Trafford
Baca: Debut di Liga Inggris bersama Liverpool, Takumi Minamino Langsung Cedera
Baca: Catatan Menarik Liga Inggris Pekan ke-24, Liverpool Unbeaten hingga Rekor Fantastis Kevin De Bruyne
Menurutnya, terkait pembelian penyiaran Liga Inggris telah dibicarakan secara bersama, dimana pada 17 Juli 2019 dewan pengawas mengundang direksi untuk membicarakan hal tersebut.
"Pada 18 Juli 2019, dewan pengawas mengeluarkan surat berisi arahan mengenai Liga Inggris," ujar Apni sembari menunjukkan kehadiran dewan pengawas TVRI pada konferensi pers Liga Inggris ditayangkan oleh TVRI.
Apni menyampaikan, perjanjian penyiaran Liga Inggris oleh TVRI selama tiga tahun, tapi bukan perjanjian multiyears dan pembayarannya dilakukan kontrak per tahun dengan harga satu musim senilai 3 juta dolar AS.
"Televisi yang menayangkan Liga Inggris memberikan kepercayaan luar biasa pengiklan kepada TVRI, terbukti dengan masuknya program lain seperti timnas kualifikasi piala dunia, Liga 1 putri, Garuda Muda yang sedang dilatih di Eropa yang memiliki nilai penjualan," tuturnya.
"Di tahun 2020 TVTI mendapatkan kepercayaan menayangkan Indonesian Basket League, pelaksana produksi dan penayangan Badminton Indonesia," sambung Apni.
Sebelumnya, Anggota Dewas TVRI Pamungkas Trishadiatmoko mengungkapkan satu di antara alasan pemberhentian Helmy Yahya terkait penayangan Liga Inggris di stasiun tv milik negara itu.
Awalnya, Pamungkas mengatakan Helmy tak memberikan surat jawaban terkait program asing.
"Surat SPRP (Surat Pemberitahuan Rencana Pemberhentian) Helmy Yahya tidak memberikan jawaban, khususnya mengenai program asing berbiaya besar," katanya di Ruang Rapat Komisi I DPR, Senayan, Jakarta.
Merespons penjelasan Pamungkas, Wakil Ketua Komisi I Abdul Kharis Almasyahri sebagai pimpinan rapat menanyakan perihal tayangan yang dimaksud.
"Sebentar saya potong. Program apa yang berbiaya besar karena kami tidak tahu?" tanya Kharis.
"Liga Inggris, kemudian ada badminton," jawab Pamungkas.
Kemudian Pamungkas mengatakan Liga Inggris merupakan program yang bisa memicu TVRI gagal bayar atau memnciptakan utang.
Ia menyamakan potensi gagal bayar tersebut dengan kasus gagal bayar Jiwasraya.
"Izin saya meneruskan. Nanti pada paparan detail setelah beberapa tahapan, saya akan mencoba men-summary-kan kenapa Liga Inggris itu bisa menjadi salah satu pemicu gagal bayar ataupun munculnya utang yang seperti Jiwasraya. Sehingga kami akan paparkan urutannya," ujar Pamungkas.
"Bahwa tayangan luar negeri itu sangat pelik dalam kontrak-kontraknya karena menyangkut hak kalau terjadi perdebatan dan sebagainya.
Kisruh TVRI bermula ketika beredar SK Dewan Pengawas LPP TVRI Nomor 3 Tahun 2019 tertanggal 4 Desember 2019.
Dalam SK itu, tertulis Helmy dinonaktifkan sementara dari kursi direktur utama TVRI.
Melalui SK tersebut, Dewan Pengawas juga menetapkan Supriyono yang sebelumnya menjabat Direktur Teknik LPP TVRI sebagai Pelaksana Tugas Harian (Plt) Dirut LPP TVRI.
Surat keputusan tersebut tidak mencantumkan alasan penonaktifan Helmy sebagai Dirut TVRI.
Helmy pun menerbitkan surat yang menyatakan bahwa SK tersebut cacat hukum dan tidak berdasar.