100 Hari Jokowi Jilid 2, Erick Thohir dan Nadiem Makarim Dinilai Bagus, Tapi Kurang Dukungan
100 hari pemerintahan Jokowi jilid 2, pengamat menyebut kinerja Mendikbud Nadiem Makarim dan Menteri BUMN Erick Thohir sudah baik.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Kabinet Indonesia Maju telah bekerja 100 hari pada hari Kamis (30/1/2020) kemarin.
Presiden Jokowi melantik para menterinya pada 23 Oktober 2019 lalu.
Pengamat menyebut, dalam kurun waktu ini kinerja Mendikbud Nadiem Makarim dan Menteri BUMN Erick Thohir sudah baik.
Ide dan terobosan Nadiem dan Erick disebut memiliki kebaruan.
"Dua menteri ini memang kalau dilihat dari aspek kebaruan ide, sudah baik," ungkap pengamat politik dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riewanto kepada Tribunnews, Kamis (30/1/2020).
Tidak berasal dari partai politik, Nadiem dan Erick menjadi dua nama populer dalam kabiner Jokowi.
"Keduanya bisa membuat yang formal menjadi informal. Dari biasa menjadi luar biasa," ungkapnya.
Namun, Agus menilai baik Nadiem maupun Erick mendapati faktor penghambat.
"Dua menteri ini tidak didukung oleh substansi peraturan undang-undang yang cukup," ungkapnya.
Baca Juga: 100 Hari Jokowi Maruf, Pengamat Nilai Pemerintahan Masih Stagnan: Progresnya Baru di Kemauan
Sepak Terjang Erick Thohir
Sementara itu untuk Erick Thohir, Agus menyebut mantan bos Inter Milan memiliki gagasan baik untuk memperbaiki BUMN.
"Sebagai orang yang memiliki track record cukup baik di dunia usaha, gagasan-gagasan untuk memperbaiki BUMN sudah kelihatan," ucap Agus.
Akan tetapi, Agus juga menyebut adanya kendala yang dimiliki Erick.
Menurut Agus, Erick tak memiliki teman.
"Erick Thohir di BUMN gak punya teman. Saya melihat dia lonely," ungkapnya.
"Saya khawatir, ide-ide dan terobosan-terobosan akan hilang ditelan angin," lanjut Agus.
Orang-orang seperti Erick di BUMN dianggap Agus terlalu sedikit.
"Kalau pun ada beberapa teman-teman yang semacam dia cuma sedikit, seperti Ahok misalnya," ungkapnya.
Diketahui, permasalahan yang dihadapi Erick di BUMN terbilang pelik.
Mulai dari bongkar pasang BUMN, hingga dihadapkan permasalahan seperti kasus Garuda hingga Jiwasraya.
Awal kepemimpinannya di BUMN, Erick langsung melakukan gebrakan melakukan 'bersih-bersih' di tubuh BUMN.
Dilansir Kompas.com, langkah pertama yang diambil Erick mencopot enam deputi dan satu sekertaris Kementerian BUMN di era Rini Soemarno.
Ketujuh orang tersebut, yakni Edwin Hidayat Abdullah, Hambra, Fajar Harry Sampurno, Wahyu Kuncoro, Aloysius Kiik Ro, Gatot Trihargo dan Imam Aprianto Putro.
Langkah tersebut diambil Erick dalam rangka merampingkan struktur deputi di Kementerian BUMN.
Untuk diketahui, di era Rini terdapat enam posisi deputi.
Sementara itu di era Erick memangkasnya menjadi hanya tiga orang deputi dan satu sekertaris kementerian.
Kemudian salah satu keputusan yang banyak mendapat apresiasi ialah mengangkat Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjadi Komisaris Utama Pertamina menggantikan Tanri Abeng.
Selain mengangkat Ahok, Erick juga mengangkat mantan Dirut PT Telkomsel Emma Sri Martini sebagai Direktur Keuangan PT Pertamina.
Erick juga memasukan nama mantan pimpinan KPK Chandra Hamzah, Amin Sunaryadi, mantan Kepala Bekraf Triawan Munaf, mantan wakil Menteri ESDM Archandra Tahar, dan mantan Menteri Keuangan Chatib Basri ke jajaran komisaris utama di perusahaan BUMN.
Sepak Terjang Nadiem
Nadiem, menurut Agus hingga kini belum didukung sebuah regulasi yang mapan untuk mewujudkan idenya.
"Misal Nadiem Makarim ingin melakukan perubahan secara radikal di kurikulum pendidikan tinggi dan SMA, sampai hari ini belum didukung regulasi yang mapan, tapi inti perubahannya bagus," ungkap Agus.
Terbaru, Nadiem membuat kebijakan di dunia perguruan tinggi dengan program Kampus Merdeka.
Satu poin di antaranya ialah mahasiswa S-1 dapat mengambil kegiatan di luar program studi (prodi) hingga tiga semester.
Nantinya, mahasiswa akan bebas melakukan kegiatan antara lain magang atau praktik kerja industri, bergabung dengan organisasi nonprofit, pertukaran pelajar, pengabdian masyarakat, maupun riset.
Selain itu selama tiga semester mahasiswa juga dapat melakukan studi independen, terlibat dalam sebuah proyek desa, hingga mengajar di daerah terpencil.
Mahasiswa juga diperkenankan melakukan kegiatan lain selama disetujui pihak prodi.
Nadiem menyebut, kebijakan yang dibuatnya ini adalah yang paling penting dan akan berdampak langsung.
"Menurut saya, dari semua kebijakan, ini adalah yang paling penting. Karena dampaknya untuk negara kita, saya rasa bisa dirasakan secara cepat, secara riil, dan secara masif," ujar Nadiem saat Rapat Koordinasi Pendidikan Tinggi, di Kemendikbud, Jumat (24/1/2020) dilansir kemdikbud.go.id.
Adanya kebijakan tersebut diharapkan mahasiswa memiliki kebebasan menentukan rangkaian pembelajaran mereka.
Nadiem menilai dengan hal tersebut dapat menciptakan adanya budaya belajar yang mandiri, lintas disiplin, dan mendapatkan pengetahuan serta pengalaman yang berharga untuk diterapkan.
Namun, Nadiem mengungkapkan kebijakan ini bukanlah paksaan dan keharusan.
Ini hanyalah opsi yang diberikan kepada mahasiswa S-1.
"Ini bukan pemaksaan. Kalau mahasiswa itu ingin seratus persen di dalam prodi itu, itu adalah hak mereka. Ini hanya opsinya untuk mahasiswa, tapi ini adalah suatu kewajiban bagi perguruan tinggi untuk memilih," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Wahyu Gilang P) (Kompas.com/Akhdi Martin Pratama)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.