100 Hari Jokowi-Ma'ruf, Fahri Hamzah Sebut Presiden Jokowi Kesepian, Apa Maksudnya?
Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Wakil Presiden Maruf Amin memasuki 100 hari pada hari ini, Kamis (30/1/2020).
Penulis: Nanda Lusiana Saputri
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Wakil Presiden Maruf Amin memasuki 100 hari pada Kamis (30/1/2020).
Terhitung sejak Kabinet Jokowi-Maruf dilantik pada 23 Oktober 2019.
Banyak rekam jejak kerja pemerintahan dalam Kabinet Indonesia Maju yang menjadi perhatian publik.
Melihat kinerja Pemerintahan Jokowi-Maruf, Wakil Ketua Partai Gelora Fahri Hamzah memberikan tanggapannya soal kinerja Pemerintahan Jokowi selama 3 bulan ini.
Hal tersebut diungkapkan Fahri dalam acara Satu Meja The Forum yang diunggah di kanal YouTube KompasTV, Kamis (30/1/2020).
Di awal pernyataannya, Fahri justru mengutip sebuah pepatah yang menggambarkan Pemerintahan Jokowi selama 100 hari ini.
"Saya mau memulai dengan ada satu adagium yang mengatakan dunia ini dirusak oleh satu dari dua macam orang."
"Pertama adalah yang berpikir saja tanpa bekerja dan yang kedua adalah bekerja saja tanpa berpikir," ujar Fahri.
Fahri mengatakan, bahwa Jokowi kurang teman untuk bertukar pikiran soal pemerintahan.
"Menurut saya Pak Jokowi itu kurang teman berpikir." terangnya.
"Pemimpin di Indonesia di sekitarnya itu disergap oleh kultur feodal, nah di situ yang menurut saya Pak Jokowi kesepian," ujar Fahri.
Fahri menilai, bahwa Presiden Jokowi adalah sosok kepala negara yang independen.
"Ada orang yang kita anggap sangat dekat dengan dia pada periode yang lalu, dia tendang begitu aja dengan sangat ringan ya."
"Nah itu yang saya bilang dia ini kesepian." tegasnya.
Fahri lantas menyebut, bahwa orang-orang seperti Fadjroel Rachman yang menjabat sebagai Juru Bicara Kepresidenan dan Yunarto Wijaya sebagai Direktur Charta Politika layak untuk menjadi teman berdebat Jokowi.
Tak hanya itu, Fahri juga menyinggung soal penunjukkan Staf Khusus Presiden dari kalangan milenial.
"Nah yang milenial-milenial itu dugaan saya itu agak gugup dia didepan presiden," terangnya.
"Simbolik dan akhirnya dia tidak bisa menasehati presiden," imbuhnya.
Fahri juga menyinggung soal Omnibus Law yang belakangan sempat ramai mnjadi perbincangan.
"Itu kan (mohon maaf) ya Presiden agak lama mengexercise bagaimana mengatur atau merekayasa, mensiasati tumpukan-tumpukan aturan tadi."
"Menurut saya itu jawabannya ada di presidensialisme," kata Fahri.
Menurut Fahri, presiden punya hak untuk membuat perpu dan bisa dilakukan hanya dalam semalam.
"Presiden itu punya hak untuk membuat perpu, malam ini dia bikin perpu, besok semua berubah," jelasnya.
Fahri juga menyoroti soal pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan.
"Soal ibu kota tadi juga begitu, apakah itu pilihan yang paling baik dari seluruh pilihan yang ada."
"Karena dunia ini kan semakin tidak memerlukan tempat, karena tempat itu hilang. Ada teknologi dan sebagainya."
"Jadi sekali lagi 100 hari ini, presiden itu kesepian," ungkapnya.
Tanggapan Rocky Gerung untuk 100 Hari Jokowi-Maruf
Melihat kinerja Jokowi-Maruf di pemerintahan, pengamat politik Rocky Gerung memberikan komentarnya.
Rocky menyebut, di masa pemerintahan Jokowi periode kedua ini tidak ada rasa aman bagi warga negaranya.
Hal tersebut diungkapkan Rocky Gerung dalam sebuah video yang diunggah di kanal YouTube Rocky Gerung Official, Rabu (29/1/2020).
"Tidak ada rasa aman kalau seluruh kebijakan sosial tidak menghasilkan kemakmuran."
"Atau perut kosong segala macam dan ketegangan sosial terus berlangsung di sudut kota," ujar Rocky.
Bahkan, Rocky menyebut 100 hari pemerintahan Jokowi sebagai 100 hari kebohongan baru.
"Jadi tumpukan persoalan itu, yang saya sebut 100 hari artinya kita menghitung 100 hari kebohongan baru," terangnya.
Rocky lantas menjelaskan, visi misi Jokowi terkait dengan soal pemerintahan yang bersih, efektif dan terpercaya
"Jangankan saya yang melihat dari atas, yang dari bawah pun langsung merasakan itu."
Rocky lantas menyinggung ucapan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly yang menyebut Tanjung Priok sebagai daerah sarang kriminal.
"Rakyat Tanjung Priok langsung merasa bahwa itu ada ketidakadilan," ujar Rocky.
"Yang diucapkan oleh Menteri Yasonna Laoly yang menuduh Tanjung Priok jadi sarang kriminal," tambahnya.
Rocky menyebut, persoalan sosial tidak ada kanalisasinya.
Hal tersebut lantaran saat ini partai oposisi, yakni Partai Gerindra berada di dalam pemerintahan dan menjadi koalisi Pemerintahan Jokowi.
"Jadi bahayanya seluruh potensi kriminal sosial itu yang seharusnya ditangkap oleh oposisi."
"Supaya oposisi menghasilkan pikiran alternatif nggak terjadi, karena oposisi ikut mencari suaka di istana kan," ungkapnya.
Rocky lantas memberikan evaluasi 100 hari Pemerintahan Jokowi-Maruf.
"Jadi kesetaraan dihilangkan, sekaligus harapan ditutup, dan itu bikin frustasi."
"Tapi orang bingung untuk menerangkan, ya tapi kan Pak Jokowi dipilih dua kali selama 10 tahun, itu misterinya," kata Rocky.
Lebih lanjut, Rocky menjelaskan soal maksud dari pernyataannya tersebut.
"5 tahun pertama gagal, ekonomi tumbuh tidak sesuai dengan yang diharapkan, keakraban sosial tidak terjadi," kata Rocky.
Selain itu, menurut Rocky, kemampuan negara untuk membiayai dirinya sendiri pun tidak bisa.
Oleh karena itu, Rocky menyebut, hal itu adalah wujud dari kegagalan Pemerintah Jokowi-Maruf.
"Jadi itu kan artinya gagal, tetapi kenapa masih terpilih?" terangnya.
Maka menurut Rocky ada dua kemungkinan alasan.
"Maka cuma dua kemungkinan, pemilih kita betul-betul sudah dungu atau pemilihannya curang itu," papar Rocky.
Rocky lantas menyebut, bahwa publik cerdas dan yang curang adalah pelaksanaan pemilu.
"Yang beginian itu mungkin akan dibuka 3 atau 4 tahun kedepandan mereka yang terlibat itu pasti akan disidang oleh pemimpin baru nanti," katanya.
Rocky berharap agar gerakan mahasiswa tetap memelihara ide dan harapan.
"Karena kita ingin republik ini diinvestasikan ulang sebagai hak untuk menikmati keadilan bersama," ujar Rocky.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana Saputri)