Ketua MK Luruskan Pandangan Sejumlah Pihak Terkait RUU Omnibus Law
"Justru, Presiden dan DPR sepanjang pemahaman atau pengetahuan kami tidak pernah,” kata Anwar Usman.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengatakan Presiden dan DPR RI pada umumnya melaksanakan putusan yang diputuskan oleh majelis hakim konstitusi.
Pernyataan itu disampaikan menjawab tudingan, Presiden dan DPR tidak melaksanakan putusan MK atau membangkang terhadap konstitusi terkait draft Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja memuat pengaturan yang pernah dibatalkan oleh lembaga peradilan tersebut.
“Ini meluruskan. Kemarin kan banyak yang salah tangkap, salah paham mengenai putusan MK tidak dilaksanakan. Justru, Presiden dan DPR sepanjang pemahaman atau pengetahuan kami tidak pernah,” kata Anwar Usman, setelah acara Serah Terima Gedung Kantor Kemenko Perekonomian kepada MK, di Aula Gedung MK II, Jalan Medan Merdeka Barat, Senin (17/2/2020).
Justru, kata dia, pemerintah merespon cepat putusan-putusan MK. Diantaranya, pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Usia Perkawinan.
“Yang terakhir mengenai salah satu putusan MK terkait usia perkawinan. Itu juga MK memutuskan supaya UU dibuat paling lama tiga tahun. Dalam waktu hanya bulanan tidak sampai satu tahun sudah dibuat dan disahkan oleh DPR dan Presiden,” ujarnya.
Baca: Hasil Survei Indo Barometer Prabowo Menteri Ngetop & Kerjanya Baik, Disebut Wajar karena Ini
Sehingga, dia meminta, semua pihak untuk tidak menilai Presiden dan DPR tidak mematuhi putusan MK.
“Jadi yang tidak melakukan, melaksanakan putusan jangan dikaitkan dengan pembuatan undang-undang, karena tidak semua putusan MK harus dikaitkan dengan pembuatan undang-undang,” kata dia.
Dia menambahkan pada saat membuat keputusan majelis hakim konstitusi mempertimbangkan berbagai macam hal.
“Akan mempertimbangkan keberlangsungan pelaksanaan berbangsa dan bernegara. Artinya, Mk tidak akan juga memutuskan yang akan menyulitkan posisi masing-masing pihak termasuk Presiden dan Wakil Presiden tentu saja rakyat Indonesia,” tambahnya.
Untuk diketahui, salah satu pasal di draft Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja menyatakan Presiden berhak membatalkan Perda/Peraturan Kepala Daerah. Padahal, materi itu sudah dibatalkan oleh MK.
Di RUU Cipta Kerja disebutkan Perda Provinsi, Kabupaten/Kota dan Peraturan Kepala Daerah yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dibatalkan.
Perda Provinsi dan peraturan gubernur dan/atau Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Peraturan Presiden.
Adapun, MK melalui putusan MK Nomor 137 PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 mencabut wewenang Mendagri membatalkan perda, baik perda kota, kabupaten atau provinsi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.