Fahri Hamzah Kritik Penasihat Hukum Jokowi
Mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai, penasihat hukum Presiden Joko Widodo tidak cukup ahli.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai, penasihat hukum Presiden Joko Widodo tidak cukup ahli.
Hal ini dibuktikan dengan adanya sejumlah persoalan pada pasal-pasal dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
"Saya mohon maaf, menurut saya Pak Jokowi itu penasihat hukumnya kurang, ahli tata negaranya kurang sekali," kata Fahri usai sebuah diskusi di kawasan Senayan, Jakarta, Senin (17/2/2020).
Menurut Fahri, ada sejumlah aturan dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang bertentangan dengan konstitusi.
Aturan itu misalnya, mengenai kewenangan presiden mencabut peraturan daerah (perda) yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya melalui peraturan presiden (perpres).
Baca: Draf Omnibus Law Cipta Kerja Sebut PP Bisa Cabut UU, Ini Respons dari Mahfud MD hingga Yasonna Laoly
Atau, kewenangan pemerintah mengubah undang-undang melalui peraturan pemerintah (PP).
"Itu otomatis melanggar undang-undang, melanggar konstitusi. Enggak boleh itu," ujar Fahri.
Fahri mengatakan, dalam penyusunan sebuah undang-undang, seorang ahli hukum harus mau mendengarkan presiden. Sebaliknya, presiden pun harus mau mendengar ahli hukumnya.
Jangan sampai, presiden justru mengabaikan pendapat penasihatnya lantaran mendengarkan kepentingan-kepentingan pihak lain.
"Jangan Pak Jokowi nggak mau denger ahli hukum atau ada ahli hukum yang nggak mau didenger oleh Pak Jokowi, di sebelahnya ada pedagang yang didenger oleh Pak Jokowi, kalah ahli hukumnya," kata Fahri.
Fahri menambahkan, dirinya sudah berkali-kali memberikan masukan ke pemerintah supaya presiden didampingi penasihat hukum yang terbaik.
Jika tidak, kelak ketika masa jabatan presiden habis, ia akan meninggalkan rekam jejak yang buruk di bidang hukum.
Untuk diketahui, RUUOmnibus Law Cipta Kerja memberikan kewenangan Presiden mencabut peraturan daerah (Perda) yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya melalui Peraturan Presiden (Perpres).
Hal itu termaktub pada Pasal 251 di draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yang menggantikan Pasal 251 dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Demikian bunyi pasal 251.
Selain itu, dalam Pasal 170 ayat 1 BAB XIII RUU Omnibus Cipta Kerja, Presiden memiliki kewenangan mencabut UU melalui PP dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja.
Pasal itu berbunyi, "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini,".