KPK Hentikan Penyelidikan 36 Kasus, Pengamat: Aksi Firli Cs Murni Persoalan Hukum
Hendri menegaskan tindakan yang terkait persoalan hukum memang menjadi tanah KPK, terutama untuk memberi kebijakan atau penilaian terhadap kasus yang
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyetop 36 perkara di tahap penyelidikan dalam rentang waktu 20 Desember 2019 hingga 20 Februari 2020.
Terkait hal itu, pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengatakan aksi Firli Bahuri dan pimpinan lembaga antirasuah lainnya murni terkait persoalan hukum.
"Kalau urusan penghentian penyelidikan ini kan harus dibedakan antara urusan politik dengan urusan hukum. Yang dilakukan Firli ini kan murni persoalan hukum," ujar Hendri, ketika dihubungi Tribunnews.com, Jumat (21/2/2020).
Hendri menegaskan tindakan yang terkait persoalan hukum memang menjadi tanah KPK, terutama untuk memberi kebijakan atau penilaian terhadap kasus yang harus dihentikan.
Oleh karenanya, ia meminta masyarakat memberikan waktu dan kepercayaan kepada Firli cs untuk melakukan pembenahan.
Baca: KPK Setop Penyelidikan 36 Kasus, Apa Saja?
Meski demikian, Hendri menilai Firli cs juga harus merespon dan mengingat kepercayaan masyarakat ada batasnya.
Masyarakat juga menunggu penanganan pimpinan KPK terkait kasus kontroversial seperti Harun Masiku dan Nurhadi yang masih buron.
"Memang pasti ada batas waktu kesabaran yg diberikan oleh masyarakat tapi selama pembenahan itu masih terus dilakukan ya kita berikan waktu dan kepercayaan aja," kata dia.
"Yang paling penting adalah beberapa hal kontroversi yang terjadi selama ini ditangani KPK harus segera diselesaikan. Hari ini kan ada dua pekerjaan rumah besar soal Nurhadi dan Harun Masiku. Ya segera diselesaikan saja," tandasnya.
Diketahui, KPK menyetop 36 perkara di tahap penyelidikan. Perkara-perkara yang disetop itu terhitung sejak pimpinan jilid V dilantik Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2019 hingga 20 Februari 2020.
Ketua KPK Firli Bahuri berdalih, perkara dalam penyelidikan dihentikan akubat tidak ditemuinya tindak pidana atau alat bukti yang cukup untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan.
"Kalau bukan tindak pidana, masa iya tidak dihentikan. Justru kalau tidak dihentikan maka bisa disalahgunakan untuk pemerasan dan kepentingan lainnya," kata Firli saat dimintai konfirmasi, Jumat (21/2/2020).
Komisaris jenderal polisi itu menegaskan penghentian kasus dalam tahap penyelidikan merupakan salah satu bentuk mewujudkan tujuan hukum.
"Tujuan hukum harus terwujud, kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Tidak boleh perkara digantung-gantung untuk menakut-nakuti pencari kepastian hukum dan keadilan," tegas Firli.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyebut setidaknya ada empat kasus besar yang tak dihentikan.
Pertama, kasus dugaan korupsi proyek pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II yang menjerat eks Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino alias RJ Lino. Kedua, kasus dugaan korupsi dana divestasi saham PT. Newmont Nusa Tenggara.
"Tadi ada pertanyaan apakah perkara di Lombok lalu RJL, kami pastikan bukan itu," ujar Ali di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (20/2/2020) malam.
Kemudian kasus ketiga yakni kasus dugaan korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Dan terakhir kasus kasus dugaan korupsi pembangunan RS Sumber Waras, Grogol, Jakarta Barat.
"Jadi supaya jelas dan clear, jadi ini perkara bukan yang disebutkan atau ditanyakan teman-teman. Bukan di NTB, bukan RJL, bukan Century, Sumber Waras, bukan. Kami pastikan itu supaya jelas dan clear," tegas Ali.
Meski begitu, Ali tak membeberkan secara rinci dugaan korupsi yang penyelidikannya telah dihentikan. Ia hanya menyebut jenis dugaan korupsi yang penyelidikannya dihentikan cukup beragam, mulai dari dugaan korupsi oleh kepala daerah, BUMN, kementerian dan lainnya.
"Untuk tahun 2020, jenis penyelidikan yang dihentikan cukup beragam, yaitu terkait dugaan korupsi oleh kepala daerah, BUMN, aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, dan DPR/ DPRD," kata Ali.