YLBHI Beberkan Praktek Oknum Mafia Peradilan di Persidangan
Menurut dia, LBH-YLBHI sering menemukan praktek-praktek kotor yang dilakukan mafia peradilan di persidangan.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) keberatan terhadap aturan terkait pengambilan foto, rekaman suara, dan rekaman TV selama persidangan.
Ketua YLBHI Bidang Advokasi, Muhamad Isnur, mengatakan proses kerja jurnalistik itu selama ini membawa manfaat untuk mencegah terjadinya praktek mafia peradilan.
Menurut dia, LBH-YLBHI sering menemukan praktek-praktek kotor yang dilakukan mafia peradilan di persidangan.
Diantaranya, kata dia, keterangan saksi dikutip secara berbeda baik di dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum maupun putusan majelis hakim.
Baca: Sempat Dinyatakan Sembuh, Perempuan di Jepang Kembali Dinyatakan Positif Virus Corona
Ataupun, dia mengungkapkan modus lainnya, yaitu keterangan saksi tidak dikutip secara utuh baik oleh jaksa maupun hakim sehingga menimbulkan makna berbeda.
"Indonesia tidak memiliki tradisi dan ketentuan yang ketat mengenai catatan jalannya sidang," kata dia, kepada wartawan, Rabu (27/2/2020).
Dia melanjutkan, modus lain adalah ada keterangan saksi-saksi tertentu tidak diambil dan tidak dijelaskan pemilihan keterangan saksi tersebut.
"Dalam pengalaman LBH juga sering ditemukan hakim menghalang-halangi liputan media dan juga dokumentasi oleh Tim Penasihat Hukum," ujarnya.
Baca: Kronologi Oknum Guru Mesum dengan Siswi SMA di Dalam Mobil Bergoyang: Rayuan-Rayuan Maut Terungkap
Selain itu, dia mengungkapkan, rekaman persidangan baik audio maupun video juga membuat hakim dan para pihak merasa diawasi.
Pasal 158 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), misalnya melarang hakim menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di dalam persidangan tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.
Atau Pasal 166 KUHAP yang mengatur pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi.
"Setidaknya hakim dan para pihak akan berpikir dua kali apabila mereka hendak bertindak tidak patut atau melanggar hukum acara karena akan ada bukti dari rekaman audio dan video tersebut," tuturnya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) melalui Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum menerbitkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan.
Salah satu aturan terkait pengambilan foto, rekaman suara, dan rekaman TV.
Berdasarkan surat edaran yang diterima, latar belakang lahirnya Surat Edaran itu dikarenakan;