YLBHI: Upaya Mahkamah Agung Atur Perekaman di Persidangan Berpotensi Perbanyak Mafia Peradilan
"Hal ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," katanya
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengecam upaya Mahkamah Agung (MA) mengatur upaya pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV.
"Kami menyatakan mengecam larangan MA untuk mengambil gambar, merekam dan meliput persidangan tanpa izin Ketua Pengadilan," kata Isnur, kepada wartawan, Rabu (27/2/2020).
Baca: Bamsoet Apresiasi Capaian Kinerja Tahunan Mahkamah Agung
Berdasarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan yang ditandatangani pada 7 Februari 2020, disebutkan pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
YLBHI berpendapat larangan mengambil gambar, merekam, dan meliput persidangan tanpa izin Ketua Pengadilan akan memperparah mafia peradilan yang selama ini dalam banyak laporan sangat banyak ditemukan.
"Hal ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalistik dalam memperoleh informasi dan menyebarluaskannya kepada masyarakat," kata dia.
Selain itu, dia menjelaskan, mengambil gambar, merekam, dan meliput persidangan tanpa izin adalah ranah hukum administrasi yang dihubungkan dengan sesuatu perbuatan yang dilarang.
Sedangkan mengambil gambar, merekam, dan meliput tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang.
"Selain itu ketua pengadilan dan birokrasinya akan dengan mudah menolak permohonan izin tersebut dengan berbagai alasan dan kepentingan tertentu," kata dia.
Di Surat Edaran itu juga disebutkan apabila terjadi pelanggaran tata tertib, maka akan bersifat suatu tindakan pidana, akan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya.
"Apalagi terdapat ancaman pemidanaan di dalamnya. Ancaman pidana yang ada dalam Surat Edaran tersebut sudah terdapat dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sehingga tidak pada tempatnya dicantumkan dalam Surat Edaran ini," kata dia.
Dia menambahkan masalah-masalah pengadilan belum banyak berubah, meskipun terdapat beberapa peraturan di tingkat MA yang membawa pembaruan MA.
"Tetapi praktik-praktik minta uang serta layanan yang belum teratur masih ditemui di mana-mana. Pengadilan lambat merespon permintaan pihak-pihak yang berperkara," tambahnya.
Atas dasar itu, YLBHI meminta perihal larangan mengambil gambar dan merekam persidangan dicabut dari SE Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum No. 2/2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) melalui Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum menerbitkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan.
Salah satu aturan terkait pengambilan foto, rekaman suara, dan rekaman TV.
Berdasarkan surat edaran yang diterima, latar belakang lahirnya Surat Edaran itu dikarenakan:
"Kurang tertibnya penegakan aturan dalam menghadiri persidangan di pengadilan-pengadilan negeri sebagaimana seharusnya yang telah ditentukan dalam berbagai ketentuan peraturan perundangan dan adanya tindakan di ruang sidang yang menggangu jalannya persidangan serta untuk menjaga marwah pengadilan sehingga dibutuhkan suatu aturan untuk mengantisipasi hal-hal tersebut".
Adapun maksud dan tujuan diterbitkannya Surat Edaran itu untuk:
"Adanya persamaan pemahaman, khususnya bagi aparat pengadilan dan bagi para pencari keadilan pada umumnya dalam mengikuti proses persidangan di ruang sidang sehingga terlaksana persidangan yang efektif, aman, tertib, dan bermartabat di pengadilan-pengadilan negeri".
Surat Edaran itu memuat Tata Tertib Umum, Tata Tertib Persidangan, dan Kewajiban Pengadilan.
Pada poin 3 Tata Tertib Umum diatur soal pengambilan foto, rekaman suara, dan rekaman TV.
"Pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan".
Baca: Ketua Mahkamah Agung Lantik Tiga Ketua Kamar
Jika melanggar aturan dalam konteks pelanggaran hukum pidana, maka pelaku dapat dituntut pidana. Hal ini tercantum di poin 9 Tata Tertib Persidangan.
"Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud pada angka 7 bersifat suatu tindakan pidana, akan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya".
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.