Iuran BPJS Batal Naik, DPR Minta Pemerintah Cari Solusi Lain Atasi Defisit Anggaran
Pemerintah diminta mencari solusi lain terkait defisit anggaran menyusul pembatalan kenaikan iuran BPJS yang diketok Mahkamah Agung(MA).
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribun, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta mencari solusi lain terkait defisit anggaran menyusul pembatalan kenaikan iuran BPJS yang diketok Mahkamah Agung(MA).
"BPJS bisa menerapkan sejumlah masukan yang diberikan DPR. Seperti melakukan subsidi anggaran dll," kata Anggota Komisi IX DPR Nur Nadlifah dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Senin(9/3/2020)malam.
Menurut Nadlifah, penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS untuk peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) kelas III yang jumlahnya mencapai 19,9 juta orang itu sangat memberatkan.
Baca: Persib Bandung Beruntung Punya Wander Luiz yang Dapat Pujian dari Robert Alberts
Baca: Marco Motta: Boleh Bermain Keras di Lapangan tapi Harus Saling Hormat
Apalagi keputusan tidak menaikkan iuran BPJS kelas III sudah disepakati dalam rapat gabungan antara Komisi IX DPR, Kemenkes, BPJS dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada November 2019 lalu.
"Seharusnya pemerintah berpegangan pada keputusan bersama sewaktu rapat gabungan di DPR 2019 lalu. Bukan justru tutup mata, dan malah membuat kebijakan yang bertentangan hasil rapat gabungan bersama legislatif," ujar politikus PKB itu.
Sejak awal lanjutnya DPR sudah menolak rencana kenaikan iuran BPJS terutama bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Karenanya Nadlifah sangat mengapresiasi putusan MA tersebut.
"Ini kabar baik bagi masyarakat Indonesia. Sejak awal DPR menolak kenaikan iuran BPJS. Terutama bagi masyarakat kelas menengah kebawah. Kami sangat mengapresiasi putuan MA ini," kata Nadlifah.
Seperti diketahui MA mengabulkan uji materiel Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Keputusan itu sekaligus membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
"Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara hak uji materiel. Diputus Kamis, 27 Februari 2020," ujar juru bicara MA Andi Samsan Nganro di Jakarta.
Dalam amar putusan itu, MA menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) selaku penggugat.
Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 23A Pasal 28 H juncto Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Perpres Nomor 75 Tahun 2019 itu juga dinilai bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4 (huruf b, c, d, dan e), Pasal 17 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pasal 234 huruf (b, c, d, dan e) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan Pasal 4 juncto Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.