Pemerintah Dinilai Gagap Hadapi Ancaman Virus Corona, Didesak Lebih Terbuka soal Informasi
Menurut dia, pemerintah justru terlihat gagap dalam menghadapi ancaman virus yang berasal dari Kota Wuhan, China ini
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Cara pemerintah dalam menghadapi pandemi virus corona atau Covid-19 tuai kritik.
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Migrant Care, Lokataru, Kontras dan YLBHI ini mendesak agar pemerintah memperbaiki cara dalam menangani wabah virus corona.
Baca: Stop Panik, Pertamina Sosialisasikan Cara Cegah Tertular Virus Covid-19
Menurut Koordinator Kontras Yati Andriyani, cara pemerintah memberikan informasi terkait keberadaan penyakit ini jauh dari memenuhi hak-hak konstitusional masyarakat.
"Komunikasi publik pemerintah memang bisa mencegah kepanikan, tapi tidak bisa memberikan keamanan dan perlindungan atas ancaman yang nyata," kata Yati kepada Kompas.com, Jumat (13/3/2020).
Menurut dia, pemerintah justru terlihat gagap dalam menghadapi ancaman virus yang berasal dari Kota Wuhan, China ini.
Pertama, ketika sejumlah pihak memperingatkan Indonesia ketika virus ini masih menjadi ancaman, pemerintah justru cenderung meremehkan imbauan itu dan menyiratkan seakan-akan orang Indonesia kebal terhadap serangan virus ini.
"Prediksi dari Universitas Harvard yang menyebutkan bahwa virus itu sudah sampai di Indonesia, ditolak mentah-mentah, dan bukannya dijadikan landasan untuk mempersiapkan kebijakan kesehatan publik yang kuat dan efektif untuk menghadapi virus ini," kata Yati.
"Sikap meremehkan dan cenderung anti-sains ini sedikit banyak telah membuat pemerintah tergagap manakala virus ini benar-benar datang," tutur dia.
Tindakan ini bertolak belakang dengan sejumlah pemimpin negara tetangga yang justru mempersiapkan diri guna menghadapi ancaman yang mungkin terjadi.
Kedua, kegagapan terlihat dari sejumlah kesalahan yang dilakukan baik oleh pejabat pemerintah pusat, maupun daerah.
Koordinasi yang lemah antara pemerintah pusat dan daerah, miskomunikasi antara Kementerian Kesehatan dengan instansi lainnya nampak dalam bagaimana kasus pertama diumumkan, termasuk pelanggaran hak privasi pasien.
"Nampak jelas bahwa pemerintah cenderung mendahulukan citra ketimbang kemaslahatan pasien dan keselamatan publik yang lebih luas," ujarnya.
Ketiga, ketika ancaman ini kian serius, pemerintah justru lebih sibuk memberikan insentif kepada industri pariwisata termasuk rencana membayar influencer, dan bukan mengucurkan anggaran untuk fasilitas kesehatan.
Padahal, pada saat yang sama negara lain justru mengambil langkah memperketat akses masuk guna meminimalisasi penyebaran virus.