Ekonomi Sirkular Jangan Sampai Mati di Tengah Pandemi Covid-19
Berdasarkan catatan ADUPI, pada semester kedua 2019, permintaan plastik daur ulang menurun drastis akibat menurunnya harga virgin plastik
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah menargetkan, peningkatan daur ulang sampah plastik setiap tahunnya sebesar 25 persen.
Pelaku industri harus dipacu untuk menggunakan kemasan daur ulang, dalam rangka mendukung program pemerintah yakni pengurangan 70 persen sampah plastik pada 2025.
Sayangnya, target tersebut tak diiringi dengan dukungan kebijakan dari pemerintah.
Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) mengeluhkan sikap pemerintah yang hanya mendorong namun tidak ada insentif maupun kemudahan terhadap pelaku usaha.
Berdasarkan catatan ADUPI, pada semester kedua 2019, permintaan plastik daur ulang menurun drastis akibat menurunnya harga virgin plastik.
Belum lagi pandemi Covid 19 yang melanda dunia, tak terkecuali Indonesia di awal tahun ini, semakin memukul rantai ekonomi komunitas daur ulang.
Baca: Media Asing Soroti Dokter di Indonesia yang Pakai Jas Hujan Plastik karena Kekurangan APD
Industri daur ulang tidak pernah mendapatkan insentif bahkan dari sebelum adanya covid-19.
"Sebagian dari kami masih bisa bekerja mendaur ulang karena market yang masih ada seperti ekspor, lokal market masih ada biarpun ada penurunan, ujar Justin Wiganda, Wakil Ketua ADUPI dalam keterangan tertulis, Senin (20/4/2020).
Meski sangat terdampak, namun menurutnya industri daur ulang harus tetap berjalan.
Diantara cara yang dilakukan untuk bertahan adalah mengurangi produksi seperti mengurangi pembelian bahan baku.
"Tanpa adanya dukungan yang nyata dari pemerintah, industri daur ulang akan seperti mati suri di tengah kondisi seperti ini dengan adanya covid-19, harga bahan baku virgin plastik yang sangat rendah," tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Pris Polly Lengkong mengaku kaget jika relaksasi insentif tidak diberikan kepada industri daur ulang, padahal industri ini berperan penting dalam menjaga lingkungan.
Baca: 3 Curanmor Asal Lampung Ditangkap: 32 Aksi dalam 2 Pekan, Dijual Rp 2 Juta, 15 Motor Motor Disita
Makin gawat saja kalau memang pemerintah tak memberikan relaksasi insentif. Karena di industri ini ada ekosistemnya yaitu pemulung, pelapak, dan UKM, kata dia.
Dalam kondisi pandemic Covid-19, Pris poly mengaku banyak menerima keluhan dari pemulung yang tidak bisa jual plastiknya karena banyak pelapak tutup.
Pelapak terpaksa tutup karena UKM dan industri juga untuk sementara tak melakukan pembelian plastik dulu.
Pemulung sebagai garda terdepan pengumpul plastik jelas terkena dampaknya. Mohon kiranya pemerintah dapat mengorek kebijakan tersebut agar industri dan ekosistem daur ulang bisa tumbuh, kata dia.
Ketua Asosiasi Untuk Kemasan & Daur Ulang Bagi Indonesia yang Berkelanjutan (Packaging and Recycling Association for Indonesia Sustainable Environment / PRAISE) Karyanto Wibowo, mengatakan ekonomi sirkular sangat erat kaitannya dengan industri daur ulang dan merupakan sistem yang perlu dijaga keberlangsungannya di tengah pandemic Covid 19 ini.
Ekonomi sirkular adalah sebuah alternatif untuk ekonomi linier tradisional (buat, gunakan, buang) dimana kita menjaga agar sumber daya dapat dipakai selama mungkin, menggali nilai maksimum dari penggunaan, kemudian memulihkan dan meregenerasi produk dan bahan pada setiap akhir umur layanan.
Baca: Detik-detik PDP di Tegal Kabur Dari Ruang Isolasi Rumah Sakit Hinga Ditemukan di Kampung Halaman
Selama pandemi, konsumsi kemasan plastik tetap berjalan dan kecenderungan semakin meningkat karena kemampuan kemasan plastik untuk menjaga kualitas, higienisnya dan fleksibilitas dalam berbagai jenis aplikasi.
Seharusnya, ini menjadi momen bagi industri daur ulang untuk tetap tumbuh mengingat ketersediaan bahan baku di lapangan.
Sayangnya, pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai strategi untuk memutus penyebaran Covid 19 mempengaruhi rantai ekonomi sirkular sehingga ikut terputus.
Pasalnya, para pelapak yang biasanya membeli kemasan plastik dari pemulung tutup.
Akibatnya, para pemulung tidak dapat menjual kemasan-kemasan plastik yang menjadi sumber ekonomi bagi keluarga mereka.
Baca: Satu Kru Kapal Positif Covid-19, Pelni Karantina KM Bukit Raya
Sementara, dari sisi industri daur ulang, pasokan bahan baku menjadi terhenti.
Kondisi ini sekaligus menjadi tambahan beban bagi para pelaku usaha daur ulang, mengingat sebelumnya pun sudah harus bersaing dengan jatuhnya harga virgin plastik.
“Ekonomi sirkular bisa memperpanjang daur hidup kemasan. Beberapa kemasan yang bisa diperpanjang daur hidupnya antara lain kemasan PET, PE dan juga PP," kata Karyanto.
Ia mencontohkan, kemasan PET yang bisa didaur ulang menjadi rPET maka seharusnya tidak lagi disebut sebagai kemasan sekali pakai.
"Memperpanjang daur hidup kemasan turut membangun kesejahteraan banyak kalangan sekaligus mengatasi persoalan sampah di Indonesia,” ujar Karyanto.
Ia berharap semakin banyak industri yang sadar akan penggunaan kemasan daur ulang.
Mengutip data Kemenperin saat ini terdapat 600 industri besar dan 700 industri kecil yang bermain di sektor industri daur ulang plastik.
Namun demikian, persentase pengolahan daur ulang yang ada masih sangat rendah.
Menurut catatan Kemenperin, dari sebanyak 7,23 juta konsumsi bahan baku plastik dalam setahun, hanya terdapat 914 ribu atau sekitar 12,6% saja yang kemudian didaur ulang kembali.
Salah satu yang telah berkomitmen mendukung penggunaan kemasan daur ulang adalah Danone AQUA.
AQUA terus memproduksi produk AQUA life menggunakan 100 persen bahan daur ulang rPET.
"Selain seluruh botol kemasan AQUA sudah mengandung sampai dengan 25% bahan daur ulang. Ini merupakan komitmen dari Danone AQUA untuk mendukung pengurangan sampah plastik melalui dukungan kepada ekosistim ekonomi sirkular,” jelas Arif Mujahidin, Communications Director Danone Indonesia