Pekerjaan Rumah Ketua MA Terpilih, Beri Efek Jera kepada Koruptor
Upaya pembenahan K3 dilakukan agar kewenangan majelis hakim memberikan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dapat memberikan efek jera.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Mahkamah Agung terpilih periode 2020-2025, Muhammad Syarifuddin mempunyai pekerjaan rumah membenahi sistem pengawasan bagi kebebasan kekuasaan kehakiman (K3).
Upaya pembenahan K3 dilakukan agar kewenangan majelis hakim memberikan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi alias koruptor dapat memberikan efek jera.
Pernyataan itu disampaikan Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.
"Jadi perubahan sistem pengawasan bagi K3 menjadi kebutuhan yang sangat urgent. K3 yang dimiliki para hakim termasuk hakim agung dalam memutus perkara, itu seringkali dihayati sebagai kewenangan tanpa batas," kata dia, saat dihubungi, Senin (4/5/2020).
Baca: Peneliti Barat Tak Percaya Korut Bebas Corona: Mereka Tidak Punya Air Bersih dan Sabun
Menurut dia, perlu ada sistem yang melakukan pengawasan K3.
"Sakralitas fungsi hakim menjadi faktor utama, sehingga perlu ada sistem yang secara ketat mengawasi. Sayangnya ini tidak sistematik (bukan sistem yang formal,-red). Sehingga tidak tetap," ujarnya.
Belakangan ini, dia menilai Mahkamah Agung (MA) mengalami pemunduran terkait upaya memberikan hukuman maksimal kepada koruptor.
Pemunduran itu terlihat setelah hakim agung, Artidjo Alkostar, pensiun dari lembaga tinggi negara pemegang kekuasaan kehakiman itu.
"Saya menyebutnya fenomena Artidjo," kata dia.
Baca: Amazon Berencana Investasikan Laba Kuartal Pertama 2020 untuk Fasilitas Pencegahan Corona
Dia menjelaskan, Artidjo berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. Hal ini terlihat dari perkara-perkara yang ditangani, di mana memberikan hukuman berat kepada koruptor.
Salah satunya perkara yang menjerat Angelina Sondakh, Politisi Partai Demokrat, pada 2013 lalu.
Artidjo menerima permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum terkait kasus korupsi pembangunan wisma atlet Kemenpora dan Kemendiknas yang menjerat Angelina.
Angelina dijerat hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan.