Imparsial Sebut Tujuh Prasyarat Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme
Direktur Imparsial Al Araf menilai setidaknya secara prinsip ada tujuh prasyarat pelibatan TNI dalam pemberantasan aksi terorisme.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Imparsial Al Araf menilai setidaknya secara prinsip ada tujuh prasyarat pelibatan TNI dalam pemberantasan aksi terorisme agar pelibatannya tetap menjaga profesionalitas TNI dan tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
Hal itu disampaikan Al Araf dalam diskusi publik yang diselenggarakan Komnas HAM terkait dengan rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang diselenggarakan via video conference pada Rabu (13/5/2020).
"Pertama adalah rule of engagement atau aturan mainnya harus dibuat secara jelas. Pelibatan itu harus dibuat atas kebijakan dan keputusan politik dalam hal ini presiden secara tertulis," kata Al Araf.
Baca: Imparsial: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Degradasi Fungsi BNPT
Kedua adalah permintaan pelibatan itu dilakukan oleh pemerintah, atau Kepolisian untuk minta pemerintah untuk meminta bantuan terkait pelibatan tersebut.
Baca: Rancangan Perpres Soal Pelibatan TNI Atasi Terorisme Dinilai Rawan Tumpang Tindih Kewenangan
Ketiga pelibatan dalam mengatasi itu hanya dalam kondisi eskalasi yang tinggi, terjadi secara sistematis, meluas ketika kapasitas penegak hukum tidak bisa mengatasi lagi.
Baca: Komnas HAM Nilai Wacana Pelibatan TNI Atasi Terorisme Berpotensi Langgar HAM
Menurutnya jika eskalasi ancaman terorisme masih normal maka penengakan hukum yang akan bekerja.
"Jadi kalau kapasitas sipil dan kapasitas penegak hukum tidak bisa lagi mengatasi ancaman terorisme dalam negeri maka presiden bisa minta perbantuan TNI untuk menangani terorisme. Sepanjang kaspasitas penegak hukum bisa mengatasai persoalan terorisme dalam negeri maka sepanjang itu pula militer tidak perlu mengatasi terorisme," kata Al Araf.
Keempat, prajurit yang dilibatkan dalam penanganan terorisme dalam negeri bersifat perbantuan terhadap pemerintah.
Hal itu karena menurutnya hanya dalam konteks situasi darurat militer, operasi militer selain perang mengatasi terorisme maka TNI bisa terpisah dari kerangka perbantuan tersebut.
"Tapi dalam konteks situasi normal dalam pelibatan-pelibatan yang kapasitas penegak hukum tidak bisa maka kerangka harus dibuat dalam kerangka tugas perbantuan. Pekerjaan rumah buat pemerintah dan DPR adalah membuat Undang-Undang perbantuan sehingga menjadi lebih jelas," kata Al Araf.
Kelima, pelibatan militer harus proporsional dan dalam jangka waktu tertentu dan sifatnya tidak boleh permanen.
Keenam, akuntabilitas dalam sistem peradilan umum harus dibangun.
Terakhir, pengaturan dalam draft Perpres tentang pelibatan militer tidak boleh bertentangan dengan undang-undang lain.
"Harapan saya seharusnya draft perpres mengatur rule of engagement atau aturan main yang lebih jelas untuk membatasi. Bukan justru untuk memberi kewenangan berlebih yang sesusungguhnya tidak tepat diatur dalam perpres. Dan apalagi kemudian pemberian kewenangan tadi bertentangan dengan Undang-Undang terorisme dan Undang-Undang TNI itu sendiri. Sebaiknya DPR bisa minta presiden dan DPR bisa mengkaji ulang draft perpres tersebut," kata Al Araf.