Iuran BPJS Naik, PKS Nilai Pemerintah Beri Contoh Buruk dan Tidak Peduli Terhadap Masyarakat
pemerintah tidak peka dengan situasi masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi karena dilanda pandemi virus Covid-19
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi IX DPR menilai pemerintah sedang memberikan contoh buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.
Hal tersebut tercermin dari keputusan pemerintah yang kembali menaikkan Iuran BPJS Kesehatan.
Baca: Fakta Kenaikan Tarif Iuran BPJS: Ini Rincian Biaya yang Harus Dibayarkan
Padahal sebelumnya dibatalkan Mahkamah Agung (MA).
"Pemerintah tidak memberikan contoh atau tauladan yang baik dalam penegakan hukum," tutur Wakil Ketua Komisi IX DPR, Ansory Siregar kepada wartawan, Jakarta, Rabu (13/5/2020).
Ansory menilai, pemerintah tidak peka dengan situasi masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi karena dilanda pandemi virus Covid-19.
"Di tengah-tengah kegembiraan masyarakat menyambut batalnya kenaikan iuran BPJS Kesehatan, muncul berita kenaikan lagi, pemerintah tidak peka dan tidak peduli terhadap perasaan masyarakat," papar politikus PKS itu.
Ia pun meminta Presiden Joko Widodo untuk segera mencabut keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Apalagi tidak terlebih dahulu berkonsultasi dengan Komisi IX DPR.
"Saya mengusulkan supaya Perpres Nomor 64 tahun 2020 tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan, dicabut," paparnya.
Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Kenaikan ini tertuang di Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Pereturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34 itu ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020).
Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000. Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000. Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Baca: Ada Kluster Baru Virus Corona di Jilin China: Perbatasan Ditutup, Transportasi Diputus
Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500. Kendati demikian, pada 2021 mendatang, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000.
Padahal sebelumnya, MA melalui putusan perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil, menerima dan mengabulkan sebagian uji materi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang permohonannya diajukan KPCDI.
Pengusaha Mengaku Berat
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani memandang keputusan itu memberatkan masyarakat saat kondisi sekarang ada pandemi Covid-19.
Menurutnya, pengusaha sebelumnya juga sudah mengajukan relaksasi untuk pembayaran iuran BPJS Kesehatan untuk karyawan, sehingga tidak makin memberatkan perusahaan.
Baca: Fraksi Golkar: Kami Tidak Pernah Usulkan Cetak Uang. . .
"Dalam kondisi yang seperti ini saja sebetulnya dari perusahaan itu kan juga minta diberikan relaksasi. Kelonggaran untuk tidak membayar penuh," kata Hariyadi.
Baca: Puncak Kendaraan Tinggalkan Jakarta Akan Terjadi Pada H-3 Lebaran, 21 Mei 2020
Hariyadi menambahkan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu mengkhawatirkan karena masyarakat bisa tidak memiliki jaminan layanan kesehatan.
Baca: Sudah Dibatalkan MA, Iuran BPJS Kesehatan Kok Kembali Naik? Kinerja Direksi Dipertanyakan
"Memang dinaikkan (iuran BPJS Kesehatan) itu yang kita khawatirkan, khususnya adalah untuk masyarakat umum yang bukan penerima upah."
"Artinya, mereka tidak bisa mendapatkan akses untuk manfaat pelayanan kesehatan, ini juga cukup serius," ujar Hariyadi Sukamdani.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.