Ketua Dewan Guru Besar UPI Sebut Pelonggaran PSBB Sama Bahayanya seperti Melakukan Pelanggaran
Wacana pemerintah dalam melakukan pelonggaran PSBB dinilai berbahaya seperti melakukan pelanggaran dalam penerapan pembatasan sosial tersebut.
Penulis: Febia Rosada Fitrianum
Editor: Ayu Miftakhul Husna
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Dewan Guru Besar UPI, Karim Suryadi menyebutkan, wacana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sama halnya dengan melakukan pelanggaran.
Hal tersebut disampaikan dalam video yang diunggah di kanal YouTube Kompas TV, Senin (12/5/2020).
Menurut Karim, wacana pemerintah soal pelonggaran PSBB dirasa belum waktunya.
Baca: Ridwan Kamil Beberkan Penyebab Data Penerima Bantuan di Jawa Barat Melonjak saat Pandemi Corona
Pasalnya, pelonggaran memiliki resiko yang sama bahayanya dengan melakukan pelanggaran PSBB.
Sehingga, Karim setuju dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Di mana Presiden Jokowi mewanti-wanti perihal pelaksanaan pelonggaran PSBB.
"Tentang pelonggaran menurut saya sama bahayanya dengan pelanggaran PSBB," terang Karim.
"Jadi saya sangat setuju kalau dibilang hati-hati," lanjutnya.
Kemudian Karim mempermasalahkan perihal komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Saat ini Indonesia sedang menghadapi sebuah pandemi, dan sudah menelan ribuan korban jiwa.
Sehingga dapat disebutkan saat ini sedang dalam situasi kritis.
Karim menyebutkan, seharusnya pemerintah juga menggunakan pola komunikasi yang sama.
Baca: Dihantam Corona, Singapore Airlines Diprediksi Akan Merugi Sepanjang 2020
Baca: Masih Ingat Dokter di China yang Kulitnya Menghitam Akibat Idap Corona? Begini Kondisinya Sekarang
Yakni komunikasi kritis, dengan tidak mengeluarkan kata-kata yang mengandung banyak makna.
Pemerintah juga diminta untuk bersikap tegas terkait langkah yang diambil dalam situasi pandemi ini.
Apabila memang diperbolehkan, sebut saja iya dan sebaliknya.
"Tetapi masalahnya ini dalam situasi kritis," jelas Karim.
"Harusnya komunikasipun dilakukan dalam kritis."
"Jangan menggunakan bahasa-bahasa yang multitafsir," tambahnya.
Bagi Karim, penggunaan kata-kata yang jelas dan lugas akan memberikan dampak pada masyarakat.
Di mana hal itu akan membentuk pengetahuan di masyarakat mengenai bahaya Covid-19 ini.
Dan dengan demikian, dapat juga mempengaruhi sikap masyarakat dalam mengatasi pandemi.
Karim mengatakan, memang ada hubungan antara pengetahuan yang dimiliki serta perilaku masyarakat.
"Itu penting, karena semua itu akan membentuk pengetahuan masyarakat tentang bagaimana bahayanya penyakit ini," ungkap Karim.
"Dan pengetahuan itu penting karena akan mempengaruhi sikap dia terhadap krisis ini," imbuhnya.
Selain itu, terkait pelonggaran PSBB juga harus dilihat dari kurva data virus Covid-19 di Indonesia.
Setiap harinya, juru bicara Gugus Tugas tidak pernah menyebutkan jumlah spesimen yang diperiksa per hari itu.
Baca: Lawan Corona, Startup Perikanan Ini Galang Dana untuk Pembudidaya Ikan, UMKM, dan Tenaga Medis
Baca: Presiden Jokowi Mewanti-wanti Jajarannya soal Krisis Pangan di Tengah Pandemi Corona
Ia hanya menyebutkan jumlah spesimen secara keseluruhan selama pemeriksaan berlangsung.
Tidak hanya itu, naik turunnya sebuah kurva bergantung pada jumlah spesimen yang diperiksa.
"Menurut saya naik turunnya kurva tergantung dari spesimen yang diperiksa," ucapnya.
Karim berharap, jumlah spesimen yang diperiksa setiap hari harus sama.
Agar kurva dapat menunjukkan dengan jelas perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia.
Dengan begitu, dapat diketahui mudah keadaan per hari soal virus tersebut.
Apakah sudah mengalami penurunan atau justru ada kenaikan.
Tidak hanya itu, dengan bentuk kurva yang jelas juga dapat menilai jumlah persentase terkait Covid-19.
"Harapan saya sebenarnya untuk melihat apakah benar sudah terjadi penurunan kasus atau belum," ujar Karim.
"Itu jumlah spesimen yang diperiksa harus sama per hari."
"Sehingga diketahui sekian persen penurunan atau kenaikannya," tambahnya.
Dengan keadaan ini, Karim berani menyebutkan status Covid-19 di Indonesia masih tinggi.
Apabila terus menerus jumlah spesimen yang diperiksa setiap harinya tidak sama.
(Tribunnews.com/Febia Rosada)