Iuran BPJS Naik lagi, MA Tak akan Campuri hingga Pengamat Sebut Miliki Konsekuensi Serius
MA mengatakan tak akan mencampuri keputusan Presiden yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Mengenai Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan, sejumlah pihak memberikan tanggapan.
Kebijakan tentang naiknya iuran BPJS Kesehatan telah diteken Jokowi pada Selasa (5/5/2020).
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini diketahui tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Terkait hal ini, Mahkamah Agung (MA) menegaskan tidak akan ikut campur soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro, mengatakan hal tersebut merupakan wilayah kewenangan pemerintah.
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Bakal Naik Mulai 1 Juli, DPR: Jangan Bebani Rakyat
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Naik Mulai Awal Juli, BPJS Watch: Kinerja Direksi Perlu Dievaluasi
"Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan tidak akan menanggapi, sebab hal tersebut merupakan wilayah kewenangan pemerintah," katanya, Rabu (13/5/2020), dilansir Kompas.com.
MA menyebutkan akan mengadili perkara itu apabila ada pihak keberatan yang mengajukan kepada pihaknya.
"Dan itupun apabila ada pihak yang berkeberatan bertindak sebagai pemohon, yang mengajukan ke MA," tandasnya.
Mengenai pemerintah menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan, MA hanya berkeyakinan Jokowi sudah melakukan pertimbangan secara seksama.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR dri Fraksi PKS, Anshory Siregar, meminta Jokowi membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Dikutip dari Kompas.com, Anshory meminta Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dicabut.
Anshory menilai pemerintah tidak peka dan empati pada masyarakat yang saat ini tengah dilanda kesusahan akibat virus corona.
Tak hanya itu, menurut Anshory pemerintah juga tidak memberikan contoh yang baik dalam ketaatan hukum.
"Pemerintah tidak peka dan terbukti tidak empati dengan situasi masyarakat yang sedang dilanda pandemi wabah Covid 19, di mana masyarakat sedang susah dan menderita namun justru menaikan iuran BPJS Kesehatan" tuturnya dalam keterangan tertulis, Rabu.
Baca: Minta Kenaikan BPJS Dibatalkan, Fadli Zon: Rakyat Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Lalu Terlindas Mobil
Baca: Jokowi Naikkan Iuran BPJS di Tengah Pandemi, Ahli: Lebih Baik Perbaiki Data, Agar Tepat Sasaran
Memiliki Konsekuensi Dimakzulkan
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan langkah Presiden Jokowi menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan yang telah dibatalkan MA, memiliki konsekuensi serius sebagai bentuk pelanggaran konstitusi.
Ia mengatakan akan ada kemungkinan presiden bisa dimakzulkan.
"Untuk tindakan seperti itu presiden bisa diangket atau bahkan impeachment (dimakzulkan)," ujar Feri, Rabu, kepada Kompas.com.
Feri mengatakan, Jokowi dianggap menentang putusan peradilan dengan menerbitkan perpres baru yang juga berisi kenaikan iuran BPJS.
"Jika itu disengaja, presiden bisa berbahaya karena itu dapat menjadi alasan sebagai pelanggaran konstitusi," ucapnya.
Diketahui, Jokowi sempat menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada akhir tahun lalu yang tertuang dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Namun, MA menerbitkan putusan Nomor 7/P/HUM/2020 yang membatalkan perpres tersebut.
Lebih lanjut, Feri menjelaskan putusan MA bersifat final dan mengikat pada semua orang, termasuk presiden.
Hal ini tertuang dalam UU tentang MA dan UU Kekuasaan Kehakiman, dimana Pasal 31 UU MA menyatakan peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Kembali Naik, Pengamat Ekonomi Berikan Analisisnya
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Naik Lagi, Pemerintah Dinilai Mengakali Putusan MA
Rincian BPJS Kesehatan setelah Naik
- Iuran peserta mandiri kelas I yang saat ini sebesar Rp 80.000, naik menjadi Rp 150.000.
- Iuran peserta mandiri kelas II yang kini Rp 51.000, menjadi Rp 100.000.
- Iuran peserta mandiri kelas III naik dari Rp 25.000 menjadi Rp 42.000.
Dilansir Kompas.com, bagi peserta mandiri kelas III akan diberikan subsidi sebanyak Rp 16.500.
Sehingga nantinya jumlah yang akan dibayarkan tetap Rp 25.500.
Meski begitu, pada 2021 mendatang, subsidi dari pemerintah akan berkurang Rp 7.000.
Ini berarti jumlah yang harus dibayarkan peserta mandiri kelas III adalah sebesar Rp 35.000.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W, Kompas.com/Sania Mashabi/Haryanti Puspa Sari/Fitria Chusna Farisa/Ihsanuddin)