Kementerian PPPA: Perkawinan Anak Adalah Pelanggaran dan Bukan Pilihan
Perkawinan anak merupakan pelanggaran hak anak dan juga pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia)
Penulis: Mafani Fidesya Hutauruk
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Mafani Fidesya Hutauruk
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Media sosial diramaikan dengan kontroversi seorang youtuber yang membuat dan membagikan pengalamannya menikah dengan anak perempuan 16 tahun pada 2019.
Saat itu revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum disahkan.
Sehingga celah tersebut membuat youtuber itu merasa bebas untuk meromantisasi perkawinan usia anak.
Hal ini menimbulkan banyak kritikan karena tindakan tersebut dianggap dapat menormalisasi praktek perkawinan usia anak.
“Perkawinan anak merupakan pelanggaran hak anak dan juga pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia),” kata Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny Rosaline saat membuka media briefing “Kawin Usia Anak Bukan Pilihan” melalui video Conference, Rabu (20/05/2020).
Baca: Hukum Zakat Fitrah Online, Berikut Waktu yang Tepat untuk Membayarkannya
Menurutnya, pembentukan konsepsi keluarga dalam perkawinan di era globalisasi mempengaruhi cara pandang anak.
Sehingga, orang dewasa di sekitar anak dan terutama orang tua perlu memberikan pemahaman yang benar kepada anak tentang konsep keluarga dan perkawinan.
“Kita harus bangun sebuah konsepsi agar anak sebelum melakukan perkawinan betul-betul harus dilandasi dengan nilai, bahwa perkawinan jangan dilihat manis-manisnya saja. Jangan dilihat dari romantismenya saja, tapi banyak di balik itu yang harus dipersiapkan pasca perkawinan itu sendiri,” jelas Lenny.
Baca: Penjelasan Kogasgabpad Sikapi Keluhan WNI Repatriasi yang Jalani Karantina di Wisma Atlet Kemayoran
Menggapi hal tersebut, psikolog Allisa Wahid yang juga menjadi narasumber dialog memberikan tanggapannya.
"Masih ada acara pandang lama masyarakat tentang perkawinan yang akhirnya bisa melanggengkan perkawinan anak," ucap Allisa Wahid.
Faktor utama itu adalah pandangan tentang anak perempuan.
Baginya yang mendorong budaya masyarakat bahkan keluarga hingga tokoh agama mendukung perkawinan anak karena anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi.
Baca: Media Asing: Ada Potensi 400 Ribu Kehamilan di Indonesia saat PSBB
Selain itu, ada pandangan lain yang perlu diubah yakni anak perempuan cukup dengan menjadi istri.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.