67 Tahun Cak Nun Trending Twitter, Sosok Emha Ainun Najib: Lengsernya Soeharto sampai Tolak Presiden
Tokoh budayawan yang dikenal dengan nama Emha Ainun Najib, juga terkenal dipanggil Cak Nun menjadi topik trending di jagat Twitter Indonesia hari ini
Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Tiara Shelavie
TribunnewsWiki.com memberitakan, lulus dari pendidikan dasar di Jombang pada 1965, Muhammad Ainun Najib atau Cak Nun kemudian melanjutkan sekolahnya ke salah satu SMP Muhammadiyah di Yogyakarta.
Cak Nun sempat mengenyam pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo setelah lulus dari SMP.
Namun pendidikannya di Gontor tidak sampai ia tamat. Cak Nun ‘diusir’ dari Gontor karena telah memimpin demonstrasi pada pertengahan tahun ketiganya di sana.
Cak Nun mendemo pimpinan pondok karena sistem yang dinilainya kurang baik (1).
Emha Ainun Najib kemudian pindah ke Yogyakarta untuk sekolah di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Di sini ia berhasil menamatkan studinya pada tahun 1971.
Lulus dari SMA, Cak Nun sempat melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Lagi-lagi ia memilih untuk tidak menamatkan pendidikannya. Kuliahnya di UGM hanya berakhir di Semester 1.
Karier
Emha Ainun Najib sempat hidup menggelandang selama 5 tahun, sejak 1970 sampai 1975.
Ia belajar sastra kepada guru yang sangat ia kagumi, seorang sufi misterius, Umbu Landu Paranggi. Umbu bahkan telah berpengaruh cukup banyak dalam kehidupan Cak Nun.
Kariernya dimulai ketika ia menjadi Pengasuh Ruang Sastra di Harian Masa Kini, Yogyakarta pada 1970.
Kariernya di media kemudian merangkak naik ketika Cak Nun menjadi wartawan dan redaktur di media yang sama pada 1973 sampai 1976.
Cak Nun juga dikenal aktif menulis puisi dan menjadi kolumnis di berbagai media.
Ia juga telah menulis sekitar 30-an buku esai.
Buku-bukunya di antaranya Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996).
Cak Nun juga juga menulis buku Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995).
Kemudian, Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997), serta masih banyak lagi buku-bukunya yang lain.
Belum lama ini, bukunya yang berjudul Kiai Hologram (2018), Pemimpin yang “Tuhan” (2018), dan Markesot Belajar Ngaji (2019) juga sudah terbit.
Selain buku esai, belasan buku puisi juga telah ditulis Cak Nun.
Beberapa buku puisi karyanya seperti “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983).
Ada juga Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994).
Setelah aktif sebagai wartawan dan redaktur, Cak Nun kemudian memimpin Teater Dinasti, Yogyakarta dan grup musik Kiai Kanjeng hingga sekarang.
Di Teater Dinasti. bersama Halimd HD, networker kesenian Sanggarbambu, Cak Nun juga menghasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama.
Karya-karya Cak Nun di antaranya Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan ‘Raja’ Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); serta Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
Cak Nun juga aktif bersama Teater Salahudin.
Bersama Teater Salahudin, Cak Nun telah memantaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun); Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya, dan Makassar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
Ia Juga mementaskan Perahu Retak pada 1992 tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram.
Cak Nun juga pernah mengikuti berbagai kegiatan seperti Lokakarya Teater di Filipina pada 1980 dan International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat pada 1984.
Pada tahun 1984, Cak Nun juga pernah mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda dan Festival Horizonte III di Berlin, Jerman pada 1985 (2).
Pada tahun 1990-an, Cak Nun menyelenggarakan acara Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki.
Kenduri Cinta sendiri merupakan forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan, dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender.
Sebelumnya Cak Nun juga hampir rutin berkeliling ke berbagai wilayah di Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri.
Dalam sebulan, rata-rata Cak Nun berkeliling sebanyak 10 sampai 15 kali bersama grup musik Kiai Kanjeng.
Hal ini ia lakukan di samping kegiatan rutinnya bersama komunitas masyarakat Padhangmbulan.
Dalam setiap pertemuan sosial itu, Cak Nun melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Meski telah mengisi berbagai pengajian di mana-mana, namun Cak Nun selalu menolak keras ketika dipanggil kiai.
Ia lebih senang ketika kehadirannya bersama sang istri, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi dan kelompok musik Kiai Kanjeng.
Dalam setiap pertemuan, pembicaraan yang ada sering sekali menyentuh permasalahan-permasalahan pluralisme di tengah masyarakat.
Cak Nun selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual.
Dalam hal pluralisme, menurut Cak Nun sendiri tidak ada yang perlu dipersoalkan dari adanya sebuah perbedaan.
Menurutnya, sejak zaman Kerajaan Majapahit perbedaan sudah ada. Namun hal itu tidak pernah menjadi persoalan. Masyarakat tetap bisa hidup rukun, saling berdampingan.
Dalam konteks agama, pluralisme bukan berarti menganggap semua agama itu sama.
“Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” kata Emha Ainun Najib seperti dimuat dalam biografiku.com.
Pandangan-pandangannya seperti menjadi oase yang menyegarkan hati dan pikiran. Terlebih di tengah suasana yang semakin memanas.
Di penghujung Orde Baru, menjelang lengsernya Presiden Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang dipanggil ke istana untuk dimintai nasihatnya.
Akhirnya Cak Nun berhasil membujuk Soeharto untuk bersedia melepaskan jabatannya sebagai presiden.
Bahkan kalimat Cak Nun, “Ora dadi presiden ora patheken” diadopsi oleh Soeharto ketika ia mengundurkan diri sebagai presiden.
Saat ini Emha Ainun Najib masih aktif mengisi pertemuan-pertemuan rutin seperti Kenduri Cinta, Macapat Syafa’at, Padhangmbulan, dan lain sebagainya.
Selain mengisi pengajian, ia juga masih aktif menulis. Selain dibukukan, tulisan-tulisannya juga dimuat dalam caknun.com.
Info Pribadi
Nama
Muhammad Ainun Najib
Nama Lain
Emha Ainun Najib, Cak Nun
Lahir
Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953
Alamat
Jl. Barokah No. 287, Kadipiro, Ngestiharjo, Kashihan, Bantul, DIY 55182
Riwayat Pendidikan
Sekolah Dasar di Jombang (1965)
SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968)
Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo (1968 – tidak selesai)
SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta (1971)
Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta (1971 – tidak tamat)
Ayah Muhammad
Ibu Chalimah
Istri Neneng Suryaningsih (cerai 1985), Novia Sanganingrum Saptarea Kolopaking (1997 sampai sekarang)
Anak Sabrang Mowo Damar Panuluh, Aqiela Fadia Haya, Jember Tahta Aunillah, Anayallah Rampak Mayesha, Ainayya Al-Fatihah
Situs www.caknun.com
(Tribunnews.com/Chrysnha/TribunJakarta.com/Rr Dewi Kartika H)(TribunnewsWiki/Widi)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.