Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pimpinan MPR RI Mengutuk Keras Teror terhadap Wartawan, Panitia dan Pembicara Diskusi UGM

Hidayat mengatakan diskusi sebagai salah satu bentuk mimbar akademik, merupakan pelaksanaan HAM.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Pimpinan MPR RI Mengutuk Keras Teror terhadap Wartawan, Panitia dan Pembicara Diskusi UGM
Ist
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid ketika menerima kunjungan para siswa SMAN 28 Jakarta, di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (2/3/2020). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengutuk keras teror dan ancaman pembunuhan terhadap wartawan, narasumber serta panitia diskusi di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Hidayat mengatakan diskusi sebagai salah satu bentuk mimbar akademik, merupakan pelaksanaan HAM.

Karena itu, seharusnya tidak diberangus, tapi dihormati serta dibebaskan dari intervensi apapun dan siapapun.

Hidayat meminta aparat kepolisian turun tangan mengusut peristiwa tersebut, guna menyelamatkan praktik ber-Pancasila dan berdemokrasi. Sekaligus menjaga eksistensi Indonesia sebagai negara demokrasi dan hukum.

"Teror, intimidasi dan ancaman pembunuhan terhadap wartawan, narsum dan panitia adalah kejahatan yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila, prinsip negara demokrasi, hukum serta tuntutan reformasi. Karenanya teror-teror seperti itu harus diusut tuntas, pelakunya dijatuhi hukuman keras, agar kejahatan seperti ini tak diulangi lagi,” kata Hidayat melalui keterangannya di Jakarta, Minggu (31/5/2020).

Ia berpendapat di era demokrasi dan reformasi, teror serta ancaman pembunuhan untuk menunjukkan ketidaksetujuan dengan pihak lain seharusnya sudah ditinggalkan dan tidak dipraktikkan lagi.

"Ini malah ada dua teror dan ancaman pembunuhan terhadap wartawan dan kegiatan di kampus, yang dipertontonkan dengan vulgar kepada publik. Bahkan membuat diskusi ilmiah di kampus UGM sampai dibatalkan. Cara-cara semacam ini seharusnya sudah tidak lagi diberi tempat di Indonesia. Polisi harus turun tangan, menegakkan hukum, mengayomi rakyat dan adil," ujarnya.

Berita Rekomendasi

Menurutnya, ancaman teror di UGM itu makin memprihatinkan, karena mencatut nama aktivis “ormas” Muhammadiyah di Klaten, meski kemudian dibantah oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Klaten.

Melihat modus tersebut, kata Hidayat, pelaku bermaksud mencemarkan nama besar Muhammadiyah atau memiliki motif mengadu domba.

"Saya sangat yakin kader Muhammadiyah yang terkenal dengan akhlak mulia dan intelektualitas tingginya, tidak akan menggunakan cara-cara negatif itu. Dengan mengusut tuntas, polisi sekaligus dapat mencegah terjadinya adu domba dan fitnah terhadap Muhammadiyah," ujarnya.

Untuk diketahui, dalam beberapa hari terakhir, terdapat dua ancaman pembunuhan yang menghebohkan publik.

Pertama adalah ancaman pembunuhan kepada wartawan detik.com atas pemberitaan terkait Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan ancaman pembunuhan kepada panitia dan narasumber diskusi di Fakultas Hukum UGM yang bertajuk "Persoalan pemakzulan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatangeraan".

Akibat ancaman itu, diskusi di UGM batal dilaksanakan.

Menurut Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tindakan intimidasi kepada wartawan harus bisa mengingatkan insan pers agar lebih serius mempraktikkan kode etik jurnalistik.

Tetapi bukan berarti bila ada yang tidak setuju dengan pemberitaan wartawan, lantas jalan keluarnya adalah teror dan ancaman pembunuhan.

Dalam negara hukum seperti Indonesia, kata Hidayat, sudah ada mekanisme keberatan yang diatur oleh Undang-Undang Pers.

"Silakan dilaporkan saja ke Dewan Pers. Nanti akan dinilai apakah memang benar wartawannya yang salah kutip, atau memang narasumbernya yang salah memberikan keterangan (dan kemudian dia ralat). Jadi, bukan dengan teror dan ancaman pembunuhan," ucap pria yang akrab disapa HNW itu.

Terkait diskusi yang digelar UGM, menurut Hidayat seharusnya bisa disikapi dengan ilmiah, intelektual dan kepala dingin.

Ketentuan soal pemakzulan presiden memang ada dalam UUD NRI 1945.

Namun, prosesnya diatur sangat ketat, dengan tahapan yang berjenjang.

Jadi, tidak karena satu diskusi di kampus maka terjadilah pemakzulan.

Mendiskusikan hal itu, apalagi secara ilmiah di kampus, kata Hidayat bukan tindakan makar.

"Semua pihak harus ikut mengawal praktik demokrasi Pancasila, apalagi jelang peringatan hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni, yang nilai-nilainya wajib kita jaga dan perjuangkan bersama, bukan hanya sekadar perayaan tahunan yang bersifat seremonial. Karena itu Polisi harus segera melakukan kewajibannya; usut tuntas, tegakkan hukum yang benar dan adil," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas