Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Hak Berpendapat Tidak Boleh Dikurangi di Masa Pandemi

Dia menjelaskan kebebasan berpendapat merupakan nilai yang hidup di masyarakat dan merupakan warisan peradaban dunia.

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Hak Berpendapat Tidak Boleh Dikurangi di Masa Pandemi
NET
ILUSTRASI 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah, Aidul Fitriciada Azhari, menyoroti ancaman disertai teror kepada panitia serta narasumber diskusi mahasiswa Constitusional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.

Menurut dia, ancaman itu merupakan sesuatu yang membahayakan bangsa. Sebab, kata dia, dilakukan terhadap kebebasan seseorang untuk menyampaikan pendapat.

"Ada situasi membahayakan kehidupan bangsa. Kasus terakhir mencatut nama Muhammadiyah. Ancaman pembunuhan, hanya karena pendapat," ujarnya di sesi diskusi "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19, Senin (1/6/2020).

Baca: Polri Diminta Usut Tuntas Teror Terhadap Panitia Diskusi FH UGM

Baca: Teror Diskusi UGM, Demokrat: Negara Harus Hadir Berikan Perlindungan

Dia menjelaskan kebebasan berpendapat merupakan nilai yang hidup di masyarakat dan merupakan warisan peradaban dunia.

Selain itu, kata dia, prinsip kemerdekaan menyampaikan lisan dan tulisan diatur di Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, selaku konstitusi negara.

"Ini hak tidak boleh dikurangi termasuk dalam konteks pandemi. Pandemi warga banyak mengalami pembatasan hak, hak bepergian, hak berkumpul. Tetapi dalam keadaan apapun hak menyatakan pendapat tidak bisa dikurangi," kata dia.

Berita Rekomendasi

Pada situasi pandemi Covid-19, kata dia, hanya kebebasan berpendapat sebagai satu-satunya kebebasan yang tersisa dan harus diberi ruang.

Melalui kebebasan berpendapat, kata dia, kebijakan pemerintah tetap bisa dikontrol.

"Pikiran tidak bisa dibatasi, tidak bisa dipenjara. Tidak ada pengadilan terhadap pemikiran. Semua orang bisa berpendapat. (Pendapat,-red) hanya bisa dilawan pemikiran bukan jeruji besi," tambahnya.

Insiden itu berawal dari diskusi mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Constitutional Law Society (CLS). Diskusi itu bertema 'Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'.

Namun, diskusi yang semula dijadwalkan diselenggarakan pada Jumat 29 Mei itu dibatalkan. Pembatalan itu karena dari pembicara hingga moderator mendapat ancaman dari sejumlah orang.

Baca: Soal Teror Diskusi UGM, Mahfud MD: Setelah Ditelusuri Bukan Dibatalkan oleh UGM atau Polisi


Berbagai teror dan ancaman dialami pembicara, moderator, narahubung, serta ketua komunitas 'Constitutional Law Society' (CLS). Teror mulai dari pengiriman pemesanan ojek online ke kediaman, teks ancaman pembunuhan, telepon, hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka.

Akhirnya, mahasiswa pelakasana kegiatan mengubah judul di dalam poster, sekaligus mengunggah poster dengan judul yang telah dirubah menjadi 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'.

Klarifikasi tersebut disertai permohonan maaf dan klarifikasi maksud dan tujuan kegiatan di dalam akun Instagram "Constitutional Law Society" (CLS)(https://www.instagram.com/p/CAuzTSqFZzu/).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas