Teror Diskusi UGM, Demokrat: Negara Harus Hadir Berikan Perlindungan
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR menyoroti terkait teror dan ancaman kepada panitia serta narasumber diskusi yang diadakan oleh mahasiswa Constitusional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat Didik Mukrianto mengatakan, dalam konteks kebebasan, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Berdasarkan hal tersebut, kata Didik, tidak dibenarkan siapapun yang mengganggu, mengekang, mengancam, apalagi merenggut kebebasan karena itu adalah bagian dari hak asasi manusia.
"Negara harus hadir, pemerintah dan aparatnya harus memberikan perlindungan terhadap setiap ancaman terhadap hak asasi manusia tersebut," ucap Didik, Jakarta, Senin (1/6/2020).
Menurut Didik, dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 juga menegaskan, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
"Standing negara clear, kewajiban pemerintah jelas, dan hak warga negara sangat gamblang," ucap Ketua DPP Partai Demokrat Departemen Hukum dan HAM itu.
Oleh sebab itu, Didik sangat menyayangkan dan prihatin masih muncul ancaman dan teror di era demokrasi seperti sekarang ini, apalagi forumnya adalah forum ilmiah yang dilakukan oleh kampus.
"Kemana hadirnya negara? Kemana pemerintah? Apa tugas aparat keamanan untuk melindungi rakyatnya? Hanya negara yang anti demokrasi dan pemimpin yang otoriter yang menggunakan pendekatan keamanan dan membiarkan terjadinya ancaman dan teror," papar Didik.
"Sungguh memprihatinkan kalau di negara demokrasi ini, pemikiran, diskursus, diskusi, forum ilmiah, forum kampus dianggap sebagai sebuah ancaman," sambungnya.
Ia menilai, memandulkan dan mematikan pemikiran kritis di era demokrasi sungguh melukai dan mengingkari semangat reformasi.
"Kalau hal demikian dibiarkan, maka tidak heran seandainya ada anggapan bahwa pemimpin kita sudah tidak mau mendengar rakyatnya, anti kritik dan takut bayangannya sendiri," kata Didik.
Berkaca kejadian ini, Didik menilai jika Presiden Joko Widodo masih menganggap demokrasi harus tetap dijaga kemurnian dan tujuannya, maka harus segera menangkap serta menindak pelaku-pelaku teror ini.
"Jangan pernah ditoleransi sedikitpun teror terhadap demokrasi ini. Kalau Presiden, Pemerintah dan Aparat Keamanan sudah tidak bisa lagi melindungi kebebasan dan HAM warga negaranya, secara logika bagaimana mungkin rakyat percaya sepenuhnya mampu melindungi negara dan kedaulatannya?," tuturnya.
"Jikalau rakyat sudah merasa tidak mendapat perlindungan negara, tidak mendapat perlindungan dari pemimpin dan pemerintah serta aparatnya, jangan salahkan kalau rakyat bergerak bersama untuk menemukan keadilan dengan cara dan keyakinannya masing-masing," pungkas Didik.